Universitas Islam Indonesia Ajukan Uji Materi UU KPK
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, memutuskan mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Meskipun Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi telah disahkan dan diberlakukan, perlawanan terhadap aturan hukum itu masih terjadi. Salah satu pihak yang melakukan perlawanan itu adalah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, yang memutuskan mengajukan permohonan uji materi atas undang-undang hasil revisi itu ke Mahkamah Konstitusi.
”Kami melihat, revisi UU KPK itu memiliki beberapa masalah sehingga sebagai warga kampus sudah seharusnya kami menyuarakan dan memperjuangkan yang kami anggap benar. Kali ini, perjuangan kami adalah permohonan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi,” kata Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dalam konferensi pers, Senin (11/11/2019), di Yogyakarta.
Pemerintah dan DPR telah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Undang-undang hasil revisi itu telah disahkan dan diundangkan menjadi UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Proses revisi UU KPK itu diwarnai penolakan keras dari berbagai pihak. Namun, pemerintah dan DPR tetap merevisi UU KPK.
Setelah undang-undang itu disahkan, sejumlah pihak mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Namun, sampai sekarang, Presiden belum menerbitkan Perppu KPK.
Fathul menyatakan, sebagai perguruan tinggi, UII memiliki perhatian besar terhadap kondisi bangsa ke depan, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, UII tidak rela apabila upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dihambat dan diganggu. Hal inilah yang menjadi dasar pengajuan permohonan uji materi atas UU No 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”UII yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa tidak mungkin berhenti mencintai negeri ini. Jadi, kami mengajukan judicial review karena kami cinta negeri ini, bukan karena kami marah atau emosi,” ungkap Fathul.
Fathul menjelaskan, uji materi atas UU No 19/2019 telah didaftarkan ke MK pada Kamis (7/11/2019). Dalam uji materi itu, ada lima pemohon yang mewakili UII, yakni Fathul Wahid selaku Rektor UII, Abdul Jamil sebagai Dekan Fakultas Hukum UII, Eko Riyadi selaku Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Ari Wibowo sebagai Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi UII, serta Mahrus Ali sebagai dosen Fakultas Hukum UII.
Eko Riyadi menyatakan, selama beberapa waktu terakhir, sivitas akademika UII memberikan perhatian yang besar terhadap sejumlah upaya pelemahan KPK. Salah satu upaya pelemahan KPK yang mendapat sorotan luas adalah revisi UU KPK yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam waktu yang sangat singkat. Sebab, substansi UU KPK hasil revisi itu dinilai bakal menghambat dan memperlemah kinerja KPK.
”Ada banyak aspek yang harus kita diskusikan ulang terkait UU KPK hasil revisi. Itulah kenapa kami memutuskan mengajukan uji materi ke MK. Uji materi ini adalah langkah yang paling baik menurut kami saat ini,” ujar Eko.
Formil dan materiil
Kuasa hukum UII, Anang Zubaidy, menjelaskan, dalam permohonan uji materi tersebut, pihaknya mempersoalkan dua aspek dari UU No 19/2019, yakni formil dan materiil. Dalam aspek formil, UII mempersoalkan proses pembuatan UU No 19/2019 yang dinilai tidak sesuai dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Dari sisi formil, kami melihat pembentukan UU KPK ini tidak mengikuti prosedur sebagaimana ditetapkan dalam UU No 12/2011,” katanya.
Menurut Anang, ada beberapa alasan kenapa pihaknya menyebut pembuatan UU KPK itu tidak sesuai dengan UU No 12/2011. Salah satu alasannya, UU KPK itu tidak dilengkapi dengan naskah akademik. Selain itu, UU KPK juga tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2019.
Anang memaparkan, prosedur pembentukan UU No 19/2019 yang tak sesuai aturan itu bisa disebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, Pasal 22A UUD 1945 menyatakan, tata cara pembentukan undang-undang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam konteks revisi UU KPK, harusnya pemerintah dan DPR mengacu pada UU No 12/2011.
”Artinya, proses pembentukan undang-undang yang tak sesuai UU No 12/2011 itu secara tidak langsung juga melanggar UUD 1945,” ujar Anang.
Terkait aspek materiil, ada delapan pasal yang diuji materi oleh para pemohon karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 1 Angka 3, Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 24, Pasal 37B Ayat (1) Huruf b, Pasal 40 Ayat (1), Pasal 45A Ayat (3) Huruf a, dan Pasal 47.
Pasal-pasal yang diuji materi itu berkaitan dengan empat hal.
Anang menyebut, pasal-pasal yang diuji materi itu berkaitan dengan empat hal. Yang pertama adalah masalah independensi KPK. Menurut para pemohon, UU No 19/2019 berpotensi membuat KPK tidak independen karena KPK disebut sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Persoalan kedua adalah kewenangan dewan pengawas. Dalam UU No 10/2019, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK harus dilakukan berdasarkan izin dari dewan pengawas.
”Padahal, dalam pemahaman kami, mestinya dewan pengawas tidak masuk dalam hal pro justitia (penegakan hukum). Jadi, kalau mengawasi, ya, hanya mengawasi kinerja,” kata Anang.
Masalah ketiga adalah status pegawai KPK. Menurut UU No 19/2019, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Padahal, Anang menilai, jika pegawai KPK menjadi bagian dari ASN, mereka akan memiliki loyalitas ganda sehingga dikhawatirkan akan menghambat proses hukum yang sedang ditangani KPK.
Sementara itu, masalah keempat adalah kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan. Dalam UU KPK yang baru, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara yang tidak selesai penanganannya dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Anang menyebutkan, para pemohon mempersoalkan ketentuan ihwal jangka waktu dua tahun itu. Sebab, penghentian penyidikan dan penuntutan seharusnya tidak dikaitkan dengan jangka waktu penanganan perkara.
Tunggu kabar
Anang menambahkan, setelah permohonan uji materi didaftarkan pada Kamis, 7 November, pihaknya masih menunggu kabar tentang penyelenggaraan sidang pemeriksaan pendahuluan di MK. Dia menyebutkan, berdasarkan aturan di MK, paling lama 14 hari setelah permohonan diajukan, MK akan menyampaikan pemberitahuan tentang sidang pertama.
Anang mengakui, sebelum permohonan dari UII, sudah ada beberapa permohonan uji materi terkait UU KPK ke MK. Namun, lanjutnya, pihaknya belum tahu apakah persidangan uji materi dari UII akan digabungkan dengan persidangan uji materi yang telah diajukan sebelumnya.
”Kurang tahu, apakah permohonan ini akan disatukan dengan permohonan-permohonan lain atau dipisah. Itu nanti kewenangan hakim untuk menentukan,” ujar Anang.