Rancangan PKPU Cantumkan Larangan Eks Napi Korupsi Ikut Pilkada
KPU berharap larangan mantan napi korupsi ikut pemilihan kepala daerah itu dimasukkan dalam Undang-Undang Pilkada. Namun, hingga kini, revisi belum jelas apakah akan dilakukan atau tidak oleh pemerintah dan DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum kembali mencoba menghadirkan larangan mantan narapidana korupsi untuk ikut dalam pemilu. Jika sebelumnya larangan coba diberlakukan pada pemilu legislatif, kali ini larangan coba dihadirkan dalam pemilihan kepala daerah.
Larangan itu tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf H Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.
Larangan menyebutkan, warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
PKPU ini bakal digunakan sebagai aturan teknis penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang digelar di 270 daerah.
Rancangan PKPU tersebut menjadi satu dari dua rancangan PKPU yang dikonsultasikan ke Komisi II DPR dan pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/11/2019). Selain kedua rancangan PKPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mengonsultasikan satu rancangan peraturan Bawaslu.
Baca juga: Larangan Eks Koruptor di Undang-Undang Lebih Kokoh
Untuk diketahui, ini bukan kali pertama KPU mencoba menghadirkan larangan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi, untuk ikut dalam pemilu. Menjelang Pemilu Legislatif 2019, KPU juga menghadirkan larangan itu di PKPU yang mengatur pencalonan anggota legislatif. Namun, kemudian larangan itu digugat ke Mahkamah Agung (MA).
Putusan MA membatalkan larangan untuk mantan napi korupsi. Adapun larangan untuk mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak dibatalkan. Imbas dari pembatalan ini, KPU harus memasukkan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) yang berstatus mantan napi korupsi ke dalam daftar caleg.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, larangan dihidupkan untuk pilkada agar pimpinan daerah yang terpilih betul-betul yang terbaik, termasuk integritasnya teruji, sehingga dapat menjadi contoh bagi masyarakatnya.
Selain itu, adanya larangan berangkat dari banyaknya mantan napi korupsi yang kembali mengulangi kejahatannya saat terpilih dan menjabat sebagai kepala daerah.
Baca juga: Pesta Demokrasi Daerah, Persoalan dan Potensi Konflik
Larangan di PKPU itu juga sebagai alternatif jika revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada batal dilakukan.
”Kami berharap larangan itu sebenarnya masuk di UU Pilkada karena kalau melihat komentar banyak pihak, sepanjang diatur di UU, maka bisa diterima. Namun, karena revisi tidak dilakukan, dan KPU melihat kebutuhan larangan itu ada, maka kami memasukkannya di Rancangan PKPU Pencalonan,” tuturnya menjelaskan.
Menurut dia, larangan itu bukan hanya keinginan KPU, melainkan keinginan banyak pihak. Sebab, semua punya kekhawatiran yang sama terhadap mantan napi korupsi yang maju dalam pilkada. ”Jadi, semestinya larangan ini bisa diterima,” ujarnya.
Kami berharap larangan itu sebenarnya masuk di UU Pilkada karena, kalau melihat komentar banyak pihak, sepanjang diatur di UU, maka bisa diterima. Namun, karena revisi tidak dilakukan dan KPU melihat kebutuhan larangan itu ada, maka kami memasukkannya di Rancangan PKPU Pencalonan.
Namun, kalaupun kelak ada yang tidak menerima aturan itu dan kembali menggugatnya ke MA, Arief menekankan, KPU sudah mengantisipasinya.
Hingga rapat berakhir, Senin sore, pembahasan terkait dua rancangan PKPU dan Perbawaslu yang dikonsultasikan belum tuntas. Oleh karena itu, belum jelas sikap Komisi II DPR apakah akan menyetujui atau tidak, khususnya larangan mantan napi koruptor ikut dalam pilkada. Rapat rencananya akan kembali dijadwalkan dalam waktu dekat.
Baca juga: Pengetatan Syarat Pencalonan Eks Napi Bisa Lewat Aturan Teknis
Revisi UU Pilkada
Terkait revisi UU Pilkada, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan permintaan agar UU Pilkada direvisi telah diusulkan berbagai pihak. Mulai dari masyarakat, penyelenggara, ataupun pengawas pemilu. Namun, sebelum revisi dilakukan, perlu dikaji apakah revisi tidak akan mengganggu Pilkada 2020.
”Revisi UU Pilkada memang diusulkan, tetapi pada saat yang bersamaan kita sudah memasuki tahapan Pilkada 2020. Jadi, kita perlu menimbang kembali jika revisi dilakukan apakah akan mengganggu tahapan,” kata Arif.
Pilkada 2020 akan dilaksanakan pada 23 September 2020. Tahapan penyelenggaraan paling awal adalah perencanaan program dan anggaran, yang sudah dimulai sejak September 2019. Adapun pendaftaran calon perseorangan akan dilaksanakan pada Desember 2019.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, pihaknya telah menginventarisasi sejumlah poin revisi UU Pilkada. Akan tetapi, dia belum bersedia memaparkannya.
Yang jelas, menurut dia, revisi diarahkan untuk memudahkan penyelenggaraan pilkada dan menghadirkan pimpinan daerah yang berkualitas. Selain itu, revisi diarahkan untuk membuat pilkada tak berbiaya tinggi.
Baca juga: UU Pilkada Masih Memungkinkan untuk Direvisi
Nomenklatur Bawaslu
Selain ihwal pencalonan eks terpidana korupsi, revisi UU Pilkada didorong oleh Bawaslu karena nomenklatur lembaga pengawas pelaksanaan pemilihan di tingkat kabupaten/kota.
Pada Pasal 1 angka (17) UU Pilkada dinyatakan bahwa pilkada kabupaten/kota diawasi oleh Panitia Pengawas (Panwas). Panwas merupakan badan ad hoc yang dibentuk Bawaslu provinsi.
Padahal, Bawaslu sebagai badan tetap memiliki struktur hingga kabupaten/kota. Struktur tersebut sudah bersifat tetap sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Oleh karena itu, perbedaan nomenklatur ini bisa berdampak pada ketidakpastian hukum saat penyelenggaraan Pilkada.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward, mengatakan, sebagai alternatif di tengah tidak pastinya revisi UU Pilkada, pihaknya mengajukan Rancangan Perbawaslu tentang Perubahan Kedua atas Perbawaslu Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Regulasi ini salah satunya akan menyebutkan kalau Panwas Kabupaten/Kota yang diamanatkan UU No 10/2016 merupakan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam UU No 17/2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Kelemahan di UU Pilkada Dapat Memicu Kekacauan
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, KPU dan Bawaslu memang harus mampu mengoptimalkan instrumen hukum yang bisa dibuat untuk mengisi kekosongan yang belum diakomodasi dalam UU. Hal itu bisa mewujud dalam peraturan teknis yang jelas.
Misalnya, syarat jujur dan terbuka untuk mantan terpidana korupsi diterjemahkan dengan membuka riwayat hukum mereka pada berbagai publikasi. Mulai dari tahap kampanye hingga hari pemungutan suara.
”KPU dan Bawaslu mesti menyiapkan berbagai alternatif rencana sehingga tahapan pelaksanaan pilkada bisa terkendali secara lebih baik dengan kemampuan mengeliminasi berbagai kelemahan yang ada semaksimal mungkin,” kata Titi.