Korupsi menjadi salah satu hambatan utama meningkatkan ekonomi Indonesia. Cita-cita untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah pada 2045 pun dinilai akan terhambat jika pemberantasan korupsi tidak maksimal.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Korupsi masih menjadi salah satu hambatan utama meningkatkan perekonomian Indonesia. Cita-cita untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah pada 2045 pun dinilai akan terhambat apabila tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang maksimal.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, salah satu penyebab tidak maksimalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena masih banyak kasus korupsi di Indonesia. Keadaaan ini tentu memberatkan para pelaku dunia usaha.
“Jika mau memicu pertumbuhan ekonomi maka sektor pemberantasan korupsi harus diutamakan. Perlu juga diingat, banyak sekali investor dari negara-negara maju enggan berinvestasi di Indonesia karena masih banyak korupsi dan pungutan liar,” kata Laode saat dihubungi dari Jakarta, Senin (21/10/2019).
Perlu juga diingat, banyak sekali investor dari negara-negara maju enggan berinvestasi di Indonesia karena masih banyak korupsi dan pungutan liar.
Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) tentang Indeks Daya Saing Global menunjukkan, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam berbisnis di Indonesia. Skornya pun terus meningkat dari 11,7 pada 2016, 11,8 (2017), hingga 13,8 (2018).
Laporan WEF pada 2019 juga menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 menduduki peringkat ke-77 dari 141 negara dengan skor 38 dalam rentang 0-100. Di Asia Tenggara, rangking dan skor IPK Indonesia di bawah negara tetangga, yaitu Malaysia beperingkat ke-55 dengan skor 47, Brunei Darussalam peringkat ke-29 dengan skor 63, dan Singapura peringkat ke-3 dengan skor 85.
Semakin tinggi skor IPK menunjukkan kalau negara tersebut memiliki tingkat korupsi rendah dan cenderung memberikan kemudahan berinvestasi bagi pengusaha.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun masih bertengger di angka 5 persen setidaknya sejak tiga tahun terakhir. Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2019 sebesar 5,05 persen lebih rendah dari triwulan II-2018 yang sebesar 5,27 persen. Ada pun PDB di triwulan II-2017 sebesar 5,01 persen dan triwulan II-2016 sebesar 5,21 persen.
Kemarin, saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang paripurna pelantikan presiden dan wakil presiden, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, cita-cita Indonesia pada 2045, yaitu keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah.
PDB Indonesia ditargetkan dapat mencapai 7 triliun dollar AS sehingga Indonesia dapat masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.
“(Pada 2045) Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama,” ujar Jokowi.
Menurutnya, potensi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah sangat besar karena berada di puncak bonus demografi. Ini merupakan tantangan dan kesempatan besar jika mampu membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul dengan didukung ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif.
“Kita perlu endowment fund (dana abadi) yang besar untuk manajemen SDM kita. Kerja sama dengan industri juga penting dioptimalkan dan penggunaan teknologi yang mempermudah jangkauan ke seluruh pelosok negeri,” kata Jokowi.
Dalam pidato politiknya, Jokowi menyampaikan, pembangunan SDM akan menjadi prioritas utama. Prioritas ini agar mampu membangun SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Implikasi investasi
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo menilai, memang tidak ada kata “korupsi” yang dinyatakan dalam pidato Jokowi. Namun, harus ditelaah lebih dalam apa sebenarnya yang dimaksud dalam pidato tersebut.
“Kita belum tahu, apa yang dimaksudkan beliau (Jokowi) itu apakah masih terbatas pada kebijakan atau sekaligus memperbaiki aspek kelembagaan dan infrastruktur penyusunan monitoring dan evaluasi kebijakan yang menjadi masalah utama. Saya masih menunggu apa yang sebenarnya beliau maksud,” kata Rimawan.
Aspek kelembagaan berbicara mengenai kepastian hukum agar SDM dapat bekerja lebih produktif. Peran sentralnya, yakni pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sementara infrastruktur penyusunan monitoring dan evaluasi kebijakan berbicara terkait satu data antarkementerian dan lembaga.
Aspek kelembagaan berbicara mengenai kepastian hukum agar SDM dapat bekerja lebih produktif. Peran sentralnya, yakni pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Rimawan menuturkan, terkait dengan peningkatan kualitas SDM, hal ini bisa terwujud kalau didukung oleh aspek kelembagaan daninfrastruktur penyusunan monitoring dan evaluasi kebijakan. Sebab tanpa adanya data tunggal SDM, pengembangan kualitas SDM tidak akan tepat sasaran.
Dalam naskah akademik, Rimawan menegaskan, pembangunan SDM sangatlah penting untuk menopang perekonomian, khususnya dalam era digital dan ekonomi nilai tambah tinggi. Menurutnya, korupsi berpotensi menurunkan berbagai layanan yang dihasilkan oleh pemerintah, penerimaan pemerintah, dan akhirnya investasi di kapital manusia.
Intuisinya adalah korupsi menurunkan keinginan masyarakat untuk membayar pajak karena ekspektasi pajak yang dibayarkan berpotensi dikorupsi. Penurunan pembayaran pajak mengakibatkan turunnya penerimaan pemerintah dan layanan publik.
"Penurunan layanan publik berimplikasi pada investasi di kapital manusia seperti di bidang kesehatan dan pendidikan,” katanya.