Riwayat Kelompok Teroris Jamaah Ansharut Daulah
Badan Intelijen Negara telah mengidentifikasi pelaku penyerangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, merupakan bagian kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sejumlah sumber menunjukkan, kelompok JAD cukup agresif melakukan aksi teror sebelum sang pendiri, Aman Abdurrahman, ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Penyerangan terhadap Wiranto di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019) siang mendapat sorotan aparat keamanan dan masyarat luas. Wiranto yang mengalami dua luka tusuk di bagian perut sebelah kiri kemudian menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Beberapa jam setelah serangan penusukan itu, Kepala BIN Budi Gunawan menyatakan bahwa dua pelaku yakni SA alias Abu Rara dan istrinya FA diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok JAD Bekasi, yang terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Baca juga: Teroris di Bekasi Rencanakan Teror Saat Pemilu
Menurut Budi, pihaknya telah mendeteksi pergerakan kelompok JAD selama beberapa bulan terakhir. Namun, terdapat sejumlah anggota yang bergerak sendiri-sendiri melalui sistem sel atau orang per orang sehingga sulit terdeteksi.
Berdasarkan riwayatnya, JAD merupakan kelompok teroris baru yang dibentuk Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman pada pertengahan 2014 di Lembaga Permasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Sebelum mendirikan JAD, Aman sempat bergabung dengan kelompok teroris Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dibentuk Abu Bakar Baasyir.
Fakta persidangan pembubaran JAD di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Juli 2018 lalu mengungkapkan, Aman mendirikan JAD dengan tujuan membuat kekuatan jemaah di Indonesia melalui hijrah dan jihad sebagai pendukung khilafah islamiah. Pembentukan JAD juga tidak terlepas dari berdirinya NIIS di Timur Tengah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi.
Baca juga: Dilema Penanganan "Alumni" NIIS
Pada November 2014, terbentuklah struktur organisasi JAD seperti di Jawa Timur, Kalimantan, Ambon (Maluku), Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Satu tahun berselang tepatnya pada November 2015, semua struktur daerah bertemu di Batu, Malang, Jatim untuk membentuk struktur organisasi JAD pusat.
Dalam rapat itu ditunjuk Zainal Anshory sebagai pemimpin JAD dan Saiful Munthohir alias Abu Gar sebagai Ketua Laskar Askhari yang merencanakan aksi teror. Meskipun tak masuk struktur inti, posisi Aman Abdurrahman sebagai rujukan menentukan kebijakan JAD.
Untuk melancarkan serangkaian aksinya, JAD memperoleh sumber dana melalui infak atau sedekah dari masjid-masjid tempat pimpinan JAD melakukan kajian atau dakwah. Selain itu, JAD juga mendapat bantuan dana operasional dari nara pidana terorisme di LP Nusakambangan.
Baca juga: Lapas Karang Anyar Nusakambangan untuk Ideolog Teroris dan Bandar Narkoba
Sementara terkait perekrutan anggota, JAD merupakan kelompok teroris terbesar di Indonesia yang pola perekrutannya sangat terbuka dibandingkan kelompok teroris lain seperti Jama\'ah Islamiyah. Selain melalui dakwah di sejumlah tempat ibadah, perekrutan anggota JAD juga dilakukan melalui jalur daring di beberapa media sosial.
Serangan teror
Di bawah kepemimpinan Anshory dan kebijakan Aman, anggota JAD tercatat melakukan sejumlah aksi teror dari pengeboman hingga penyerangan. Aksi tersebut di antaranya bom Thamrin, Jakarta (Januari 2016); bom di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur (November 2016); bom Kampung Melayu, Jakarta (Mei 2017); dan penyerangan Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Juni 2017).
Anshory ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri pada April 2017 setelah memicu serangan terhadap polisi di Jawa Timur. Majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara terhadap Anshory dalam sidang di PN Jakarta Timur pada Februari 2018.
Empat bulan berselang setelah penangkapan Anshory atau pada Agustus 2017, giliran Aman yang ditangkap Tim Densus 88 karena dianggap sebagai dalang di balik empat serangan teror selama 2016-2017.
Dalam sidang tuntutan Mei 2018, Aman terbukti sebagai sosok yang menyebarkan ideologi radikal lewat tulisannya di buku Seri Materi Tauhid. Dari tulisan itu, sejumlah orang tergerak melakukan aksi teror.
Sejumlah orang juga percaya larangan bagi setiap Muslim mengikuti dan tunduk pada aturan, menganggap demokrasi bentuk penyekutuan terhadap Allah, serta menentang pimpinan negara dan lembaga.
Baca juga: Kecenderungan Anak Muda Dukung Khilafah Meningkat
Mengacu pada pertimbangan tersebut, Hakim PN Jaksel kemudian menjatuhkan hukumAN mati kepada Aman dalam sidang vonis, Juni 2018. Aman terbukti melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana Pasal 14 jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Setelah kedua tokoh JAD divonis hakim, kelompok teroris ini pun resmi dianggap terlarang dan dibubarkan oleh hakim dalam persidangan pembubaran JAD, Juli 2018. Namun, dibubarkannya JAD tidak lantas membuat serangan teror berakhir.
Para teroris yang memiliki keterkaitan dengan jaringan JAD masih gencar melakukan serangan. Hal ini terbukti dari penangkapan lima terduga teroris di Bekasi, Mei lalu, yang diduga akan melakukan teror kepada anggota Polri saat Pemilu 2019. Penusukan Wiranto juga menjadi kasus terbaru serangan teror para anggota JAD.
Pola penyerangan
Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, mengatakan, anggota JAD maupun teroris lainnya secara umum memiliki pola penyerangan yang hampir sama, yakni menargetkan pemerintah yang tidak menjalankan syariat Islam. Dalam hal ini, pejabat negara maupun aparat keamanan juga sering dijadikan target.
Baca juga: Meluruhkan Isu Radikalisme di Indonesia (1)
Menurut Solahudin, dalam peristiwa penusukan Wiranto, para pelaku yang berafiliasi ke NIIS ini memiliki sejumlah motif. Salah satu motifnya, para pelaku memiliki ideologi bahwa dalam mencapai kesempurnaan iman dan Islam harus dilakukan dengan mengingkari, membenci, memusuhi, dan memerangi pemerintah.
Selain itu, penyerangan ini juga tidak terlepas dari kemarahan dan dendam karena begitu banyak rekan para teroris yang ditangkap. Solahudin mencatat, sejak 2015 hingga 2019 sekitar 1.000 teroris yang berafiliasi dengan NIIS telah ditangkap oleh aparat.
“Motif penusukan Wiranto lainnya juga terkait dengan tujuan teror untuk menebarkan rasa takut. Mereka menebarkan rasa takut dengan menarik perhatian media sehingga dipilihlah target yang high profile,” ujarnya.
Meski NIIS telah dikalahkan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat pada Maret lalu, Solahudin mengakui bahwa sel jihad yang berafiliasi dengan NIIS belum sepenuhnya padam. Dia pun sepakat dengan pernyataan Kepala BIN terkait masih banyak teroris berafiliasi NIIS yang bergerak sendiri-sendiri sehingga sulit terdeteksi.
Baca juga: NIIS Beralih Menjadi Kekuatan Sel-sel Tidur
Dalam buku Waspada ISIS (2015) yang disusun tim Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), negara akan sangat lemah tanpa keterlibatan seluruh komponen bangsa dalam memerangi kelompok teroris yang berafiliasi dengan NIIS. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan ikut terlibat dalam mencegah paham NIIS maupun radikalisme lainnya.
Masyarakat diharapkan membentengi keyakinan dengan semangat kebangsaan dan nilai-nilai keagamaan yang moderat dan damai. Selain itu, masyarakat juga perlu mengenali setiap individu atau kelompok yang terlihat menampakkan ajaran kekerasan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib.