Saat Demokrasi Dalam Ancaman
“Selama 21 tahun terakhir, kami telah menikmati demokrasi, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai hak asasi manusia. Tetapi, tidak ada jaminan bahwa itu bisa berlangsung selamanya.”
Dengan suara bergetar, putri Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid, Anita Wahid, menyampaikan kata sambutan reflektif di hadapan sejumlah akademisi, jurnalis, dan perwakilan masyarakat sipil dari Australia di Queensland University of Technology, Brisbane, Queensland.
Malam itu, 26 September 2019, Anita bersama 23 orang perwakilan dari Indonesia yang mengikuti program beasiswa singkat oleh Kedutaan Besar Australia bertajuk Ketahanan Demokrasi: Literasi Media dan Digital, sedang menghadiri jamuan makan malam serta berjejaring dengan sejumlah pemangku kebijakan dari Australia.
Ribuan kilometer dari Australia, pada saat yang sama, Indonesia dirundung awan gelap. Rangkaian aksi unjuk rasa oleh mahasiswa dan pelajar di sejumlah kota secara bersamaan selama tiga hari berturut-turut dari 23-25 September 2019 masih menyisakan residu pahit. Korban berjatuhan, dari mahasiswa pengunjuk rasa yang belum ditemukan, korban luka, hingga korban jiwa. Sebagian besar tuntutan mahasiswa pun belum dipenuhi oleh pemerintah dan DPR.
Keresahan publik semakin menjadi-jadi dengan penangkapan berturut-turut jurnalis dan aktivis Dandhy Laksono serta Ananda Badudu. Tiga hari setelah unjuk rasa, Dandhy ditangkap di rumahnya dan ditetapkan sebagai tersangka karena unggahannya di Twitter yang berusaha mengklarifikasi informasi atas konflik di Papua. Tanpa pernah dipanggil sebagai saksi, ia dijerat pasal ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sementara, Ananda Badudu ditangkap dan diperiksa sebagai pihak yang pada saat aksi unjuk rasa mahasiswa, membantu menggalang dana publik lewat situs Kitabisa.com untuk membiayai kebutuhan para mahasiswa. Polisi tidak menetapkan Ananda sebagai tersangka, melainkan saksi aliran dana kepada mahasiswa yang menggelar demo.
Anita mengatakan, ancaman terhadap demokrasi itu semakin kentara di era digital. Merebaknya misinformasi, disinformasi, serta ujaran kebencian di dunia maya, berkelindan dengan faktor klasik kepentingan elite, yang memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat, memperlemah pemberantasan korupsi, dan mengabaikan hak asasi manusia.
“Demokrasi kami saat ini sedang dalam ancaman,” ucapnya.
Dinamika sosial politik di Indonesia selama sepekan terakhir ini turut menjadi sorotan dunia internasional. Dalam jamuan malam pada Kamis malam itu, misalnya, topik mengenai situasi politik terkini di Indonesia muncul berulang kali dalam percakapan dengan sejumlah akademisi dan jurnalis dari Australia. Benang merahnya serupa: demokrasi sedang dalam ancaman, baik di Indonesia, maupun banyak negara lain.
Menyusul aksi unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia, sejumlah negara spontan bereaksi. Australia, misalnya, menanggapi situasi dalam negeri dengan mengeluarkan travel advice bagi warganya yang hendak bepergian ke Indonesia.
Departemen Hubungan Internasional dan Perdagangan dari Australia mengimbau warganya untuk berhati-hati ketika berkunjung ke Indonesia, karena aksi protes dan demonstrasi di Indonesia berpotensi membuat situasi tidak stabil. Sementara, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris juga meminta warga negaranya di Indonesia untuk waspada menjaga keamanan dan keselamatan serta menghindari pusat demonstrasi.
Media internasional juga tidak luput memberitakan aksi yang melibatkan demonstran mahasiswa, pelajar, dan rakyat dalam jumlah besar itu. Meskipun, pemberitaan yang masif itu sempat berujung pada salah kaprah media internasional dalam menangkap isi tuntutan para mahasiswa.
Sejumlah media, antara lain situs AJ+ di bawah jaringan media Al Jazeera, BBC dari Inggris, Deutsche Welle, dari Jerman, mengemas pemberitaan aksi unjuk rasa mahasiswa terkait protes atas kriminalisasi hubungan seksual, seperti hubungan sejenis, hubungan seks luar nikah, dan pidana untuk pelaku aborsi.
Hal itu menyederhanakan fakta bahwa tuntutan para mahasiswa sebenarnya menyoroti banyak isu penting. Mulai dari pemberantasan korupsi yang terancam dengan revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang baru, mengakhiri pendekatan militeristik dalam penanganan konflik di Papua, menghentikan persekusi terhadap aktivis, serta segera menindak korporasi yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera.
Pers dan masyarakat sipil
Pengajar Demokrasi dan Jurnalisme di Queensland University of Technology Angela Romano menyayangkan perkembangan situasi terkini di Indonesia. Ia sependapat bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan lewat reformasi 21 tahun lalu, yang seharusnya menjadi tonggak kemajuan demokrasi Indonesia, bisa terancam dengan berbagai RUU yang justru mengancam nilai-nilai reformasi itu.
“Dapat dipahami frustrasi yang dirasakan rakyat Indonesia, bahwa setelah 21 tahun reformasi, ternyata sebagai bangsa tetap harus berhadapan dengan persoalan yang sama,” katanya.
Kendati demikian, Angela meyakini, demokrasi Indonesia memiliki daya tahan khusus. Indonesia selama ini telah melalui jatuh bangun yang menguji iklim demokrasinya, tetapi tetap bisa menjaga daya tahan. Untuk itu, pers dan kelompok masyarakat sipil yang kritis dan bebas memainkan peran yang sangat penting untuk mengembalikan negara pada rel demokrasi yang seharusnya.
Ia menuturkan, Queensland pada 1980-an pernah menghadapi situasi serupa dengan pemerintahan yang korup dan non-demokratis di bawah Menteri Utama (Premiere) Queensland saat itu, Joh Bjelke-Petersen. “Saat itu, media mengungkap skandal korupsi para elite, dan itu akhirnya membawa perubahan secara menyeluruh. Intinya, peran pers, juga kelompok masyarakat sipil, sangat penting di tengah situasi seperti ini,” katanya.
Lebih lanjut, Angela mengatakan, situasi di Indonesia juga berdampak pada komunitas internasional. Awalnya, perhatian negara lain sebagian besar berkaitan dengan kepentingan praktis keamanan dan keselamatan warga negaranya. Itu yang membuat Australia mengeluarkan travel advice. “Ada kekhawatiran, kalau saya melakukan ini dan itu di Indonesia, apakah saya bisa terkena masalah?” tuturnya.
Namun, lambat laun, ujarnya, situasi tersebut juga memengaruhi iklim investasi. Ketidakstabilan politik, keresahan publik, terutama lewat munculnya beragam rancangan legislasi yang problematik, akan membuat dunia usaha internasional berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia. “Risiko terbesar yang akan dihadapi Indonesia saat ini adalah risiko hilangnya kepercayaan komunitas bisnis internasional untuk berinvestasi di Indonesia ketika situasi sedang tidak stabil,” kata Angela.
Apa yang terjadi di Indonesia sejalan dengan dinamika yang ditangkap mengemuka di sejumlah negara, berdasarkan hasil Indeks Demokrasi 2018. Hasil riset oleh The Economist Intelligence Unit itu menunjukkan, kepercayaan pada demokrasi dan pemerintahan turun signifikan di banyak negara.
Seiring dengan itu, kebebasan sipil juga menurun tajam, khususnya dalam bentuk kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Meski demikian, yang menarik, di tengah itu semua, partisipasi politik meningkat signifikan. Kepercayaan publik yang menurun terhadap demokrasi dan negara tidak serta-merta membuat publik apolitis dan memisahkan diri dari demokrasi.
Sebaliknya, menurut hasil riset The Economist Intelligence Unit, ‘amarah’ dan keresahan itu justru menggerakkan masyarakat sipil untuk bersikap kritis dan bertindak ketika merasa nilai-nilai dan haknya mulai digerus oleh negara.
Di Indonesia, itu ditunjukkan melalui gerakan mahasiswa dan pelajar yang sepekan ini menggeliat.
Kondisi seperti ini dapat mendorong iklim politik yang lebih transparan dan deliberatif, serta pada akhirnya memberi suntikan daya tahan bagi demokrasi di tengah bangkrutnya rasa percaya pada institusi politik.
Dukungan diaspora
Adapun mahasiswa dalam negeri tidak sendirian. Dukungan mengalir datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari mahasiswa, pelajar, dan warga Indonesia yang saat ini tinggal di luar negeri. Perkumpulan mahasiswa di luar negeri ikut mengecam sejumlah RUU bermasalah yang dikebut DPR dan Pemerintah serta sejumlah isu yang menjadi tuntutan mahasiswa di dalam negeri.
Mereka juga mendukung agar gerakan unjuk rasa yang damai demi menyuarakan poin-poin tuntutan yang terukur dapat terus disuarakan hingga akhirnya dipenuhi oleh pemerintah dan DPR.
Beberapa perkumpulan mahasiswa yang sudah angkat bicara antara lain Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Queensland, Australia, PPI Prancis, serta Den Haag, Belanda. Tuntutan yang mereka suarakan sama, termasuk mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK untuk mengoreksi hasil revisi UU KPK yang melemahkan lembaga antirasuah itu.
PPI Queensland telah menggalang dukungan dari mahasiswa di seluruh negara bagian itu untuk menandatangani petisi daring di Change.org yang menuntut penundaan dan pembahasan ulang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagai langkah selanjutnya, PPI Queensland juga mengajak mahasiswa diaspora untuk ikut memberi donasi lewat penggalangan dana di Kitabisa.com.
Jika poin-poin tuntutan mahasiswa tetap tidak dipenuhi, PPI Queensland dan sejumlah mahasiswa berencana mendatangi Konsulat Jenderal setempat dan Kedutaan Besar Indonesia di Australia untuk meminta audiensi dan menyampaikan aspirasi. “Keluarga kami masih di Indonesia, kami masih warga Indonesia, kami harus ikut bersuara,” kata Ketua PPI Queensland University of Technology Prasetya Putra Dewanta saat ditemui di Brisbane
Setali tiga uang, Ketua PPI Prancis Ridho Indawan Utomo ikut mengecam adanya dugaan tindakan represif aparat keamanan terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil di Indonesia di berbagai daerah saat aksi unjuk rasa berlangsung.
Ridho pun menyerukan agar seluruh lapisan masyarakat, mahasiswa, pelajar, dan diaspora Indonesia di luar negeri, dapat menunjukkan aksi solidaritas untuk menyelamatkan semangat pemberantasan korupsi dan menguatkan demokrasi di Indonesia.
“Sikap ini merupakan tanggung jawab moral kami sebagai anak bangsa untuk terus mengawal amanat konstitusi, cita-cita reformasi, kemanusiaan, dan semangat demokrasi Indonesia,” kata Ridho.