Penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hendaknya dimanfaatkan untuk mengkaji sejumlah materi krusial dalam RKUHP tersebut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hendaknya dimanfaatkan untuk mengkaji sejumlah materi krusial dalam RKUHP tersebut. Bukan hanya mengandung sejumlah pasal karet dan mengancam kebebasan sipil, sejumlah pasal dalam RKUHP yang disetujui DPR beberapa waktu lalu juga berpotensi mengkriminalisasikan perempuan.
Salah satunya adalah Pasal 470 tentang pengguguran kandungan. Pasal tersebut dinilai akan mengancam perempuan-perempuan korban perkosaan dan perempuan dengan kedaruratan medis. Padahal, dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 75 Ayat (2) diatur pengecualian larangan aborsi untuk perempuan dengan kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan.
”Tapi, versi RKUHP terakhir, tanggal 15 September 2019, masih memuat ketentuan mengenai sanksi bagi orang yang menggugurkan kandungannya, tanpa pengecualian kondisi darurat medis dan korban perkosaan,” ujar Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Atashendartini Habsjah saat berbicara dalam Dialog Publik: ”Membincang Kesehatan Perempuan dalam RUU PKS dan RKUHP” yang digelar YKP dan Kaukus Perempuan Parlemen RI, Kamis (19/9/2019), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pembicara lain dalam diskusi tersebut, Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, menyatakan, pasal tentang perkosaan juga dinilai diskriminatif. Sebab, RKUHP hanya memuat pengecualian bagi para dokter yang melakukan pengguguran kandungan, tetapi tidak terhadap perempuan yang melakukan aborsi.
RKUHP hanya memuat pengecualian bagi para dokter yang melakukan pengguguran kandungan, tetapi tidak terhadap perempuan yang melakukan aborsi.
Pasal 470 menyebutkan, setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Sementara Pasal 473 berbunyi, ”Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dipidana.”
Menurut Atashendartini, UU No 36/2009 Pasal 75 Ayat (1) memang mengatur setiap orang dilarang melakukan aborsi, tetapi ada pengecualiannya yang diatur dalam Pasal 75 Ayat (2). Pada Ayat (2) jelas disebutkan larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan dua hal.
Pertama, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki, sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Meskipun demikian, UU Kesehatan Pasal 76 mengatur aborsi hanya bisa dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
Syarat lain, aborsi tersebut harus dilakukan tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan serta memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri, dan mendapat persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan juga izin suami, kecuali korban perkosaan. Aborsi dilakukan di tempat penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.
Untuk melaksanakan UU tersebut, sejak tiga tahun lalu sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan No 3/2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan akibat Perkosaan.
Selain diatur dalam UU Kesehatan, menurut Atashendartini, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 penghentian kehamilan diperbolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat maupun hajat.
Adapun keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah perempuan hamil menderita sakit fisik berat, seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna, dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter dalam keadaan kehamilan mengancam nyawa si ibu.
Sementara keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan, kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama. Aborsi boleh dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
Kendati sudah ada pilihan bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi, pada praktiknya tidak semua masyarakat mengetahui hal tersebut. Kebanyakan perempuan korban perkosaan baru mengetahui dirinya hamil setelah usia kehamilannya lewat enam minggu. Ada banyak korban perkosaan tidak bisa menerima kehamilannya dan mencari jalan sendiri, melakukan aborsi tidak aman, yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, bahkan kematian sang ibu.
Bahkan, dari penelitian YKP atas kasus-kasus perkosaan di Jakarta dan Semarang tahun 2018, hampir semua perempuan korban perkosaan tidak melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya. ”Yang menjadi korban adalah perempuan di bawah 18 tahun. Di Jakarta, kami menemukan kasus menyedihkan, korban tidak tahu harus ke mana,” kata Atashendartini.
Sinkronisasi dengan UU Kesehatan
Selain bertentangan dengan UU Kesehatan, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai Pasal 470 RKUHP juga tidak sejalan dengan komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.
Pasal 470 RKUHP juga tidak sejalan dengan komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.
Karena itu, Komnas Perempuan meminta DPR dan pemerintah menunda pengesahan RKUHP. ”Perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RKUHP dengan UU Kesehatan secara utuh,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana.
Pasal 470 hanyalah salah satu dari sejumlah pasal dalam RKUHP yang berpotensi kriminalisasi berlebihan terhadap perempuan. Ada sejumlah pasal yang juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lain, seperti anak, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, dan penghayat kepercayaan.
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 2 Ayat (1) dan (2) tentang hukum yang hidup di masyarakat, Pasal 412 tentang kesusilaan di muka umum, Pasal 414-416 tentang mempertunjukan alat pencegah kehamilan dan alat penggugur kandungan, Pasal 419 tentang hidup bersama, dan Pasal 467 tentang larangan seorang ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (infantisida).
Karena itulah, menunda pengesahan RKUHP dan melakukan pengkajian mendalam terhadap sejumlah pasal yang bermasalah akan mencegah perempuan dan kelompok rentan dikriminalisasi.