Agnes Theodora, Riana Afifah Ibrahim, dan Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Terpilihnya lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023 mengindikasikan adanya potensi perubahan arah pemberantasan korupsi ke depan. Kelima calon pimpinan KPK terpilih cenderung menitikberatkan pemberantasan korupsi pada aspek pencegahan dan punya pandangan yang hampir sama dengan partai politik di DPR terkait revisi Undang-Undang KPK.
Hal itu terlihat dari pernyataan kelima unsur pimpinan KPK terpilih saat sesi wawancara dalam uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi III DPR pada Rabu sampai Jumat (11-13/9/2019), serta dari makalah yang mereka tulis saat uji kelayakan dan kepatutan.
Pada akhir proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pada Jumat dini hari, dihasilkan lima unsur pimpinan KPK 2019-2023. Mereka adalah Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Alexander Marwata. Komisi III DPR menentukan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru.
Sedih
Saat uji kelayakan dan kepatutan, Firli menyatakan merasa sedih melihat operasi penangkapan yang dilakukan KPK. ”Saya sedih kalau melihat orang ditangkap tangan. Lagi pula terus-menerus tangkap orang, penuh penjara. Yang benar itu, kan, pencegahan yang dikuatkan,” katanya.
Menurut Firli, korupsi terjadi karena keserakahan, kebutuhan, dan sistem yang buruk. Ia pun mengusulkan agar gaji kepala daerah dan anggota legislatif ditambah untuk memupus korupsi.
Adapun calon petahana Alexander Marwata menawarkan perbaikan sistem Aparatur Pengawas Internal Pusat untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Namun, sejak 2017 hingga kini, pembahasan regulasi itu mandek di Kementerian Dalam Negeri. Perbaikan pelayanan publik dengan memperbaiki sumber daya manusia di instansi juga jadi idenya. Ini karena lambannya peningkatan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, menurut dia, karena buruknya pelayanan publik.
Nurul Ghufron dalam makalahnya memiliki visi untuk memperkuat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan memasukkan politik uang sebagai wewenang KPK. Penanganan pidana di tingkat swasta juga dia jadikan fokus.
Namun, saat wawancara dalam uji kelayakan dan kepatutan, gagasan itu tidak tersampaikan. Dalam forum itu, Ghufron antara lain menyatakan setuju untuk merevisi UU KPK guna memasukkan ketentuan tentang penghentian perkara hingga kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif.
Sementara itu, Nawawi Pomolango menitikberatkan perlunya KPK fokus pada aspek pencegahan dibandingkan penindakan. Dengan membandingkan KPK dengan lembaga sejenis di Korea Selatan, Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC), Nawawi mengisyaratkan perlunya KPK fokus pada pencegahan. Sebelumnya ACRC memiliki fungsi penindakan, tapi kewenangannya dipangkas sampai pencegahan. Menurut Nawawi, indeks persepsi korupsi Korsel melambung karena fokus pada pencegahan.
Beberapa pengaturan pembatasan kewenangan serta pengawasan terhadap KPK yang kini sedang digodok DPR dan pemerintah lewat revisi UU KPK juga menjadi fokus Nawawi. Hal itu, misalnya, terkait kewenangan penyadapan KPK yang harus didahului izin dari Dewan Pengawas.
Padahal, banyak kalangan menilai prosedur itu bisa membuat rencana penyadapan bocor atau justru menghambat proses penindakan karena terbentur proses administrasi. Apalagi, jika anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR atau presiden yang membuka peluang KPK tidak independen lagi.
Sementara, Lili Pintauli Siregar menyetujui perlunya pemberian kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan perkara untuk KPK atas dasar memberikan kepastian hukum. Namun, ia meragukan perlunya keberadaan Dewan Pengawas. Kewenangan Dewan Pengawas perlu diperjelas agar tidak mengganggu teknis penanganan perkara.
Perubahan
Melihat paparan pimpinan KPK 2019-2023 terpilih tersebut, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengkhawatirkan adanya pergeseran arah pemberantasan korupsi oleh KPK. Fungsi penindakan yang merupakan jati diri KPK sebagaimana diamanatkan Undang-Undang KPK akan diganti dengan pencegahan.
Jika hal itu terjadi, Oce memprediksi pemberantasan korupsi akan mencapai titik suram. ”Jika fungsi penindakan itu dihabisi, budaya antikorupsi yang mulai terbangun itu juga hilang. Hukuman yang bisa mencabut hak politik seseorang juga hilang. Bahkan, mungkin orang tidak mau lagi melaporkan LHKPN dan gratifikasi,” tuturnya.