Dekan FH UGM: Hari Ini Akan Dikenang sebagai Hari Pembunuhan KPK
Hari ini masyarakat akan mengenangnya sebagai hari pembunuhan KPK dan pengkhianatan kepercayaan terhadap aspirasi publik oleh DPR.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pemungutan suara terhadap unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menuai kontroversi. Pasalnya, kandidat yang dinilai bermasalah tetap diloloskan menjadi komisioner KPK.
”Hari ini, masyarakat akan mengenangnya sebagai hari pembunuhan KPK dan pengkhianatan kepercayaan terhadap aspirasi publik oleh DPR,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Kelima komisioner yang dipilih Komisi III DPR melalui mekanisme pemungutan suara ialah Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri, sekaligus Ketua KPK; komisioner KPK, Alexander Marwata; advokat Lili Pintauli Siregar; Dekan Universitas Jember Nurul Ghufron; dan hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, Nawawi Pomolango.
Sigit menegaskan, keputusan DPR memilih lima komisioner KPK tentu akan berakibat sangat serius terhadap agenda pemberantasan korupsi ke depan. Eksistensi kinerja KPK pun akan terganggu, bahkan menjadi lumpuh karena tidak lagi mendapat kepercayaan dari publik.
”Kalau yang terpilih adalah kandidat yang dari awal jelas mendapat penolakan dari publik ataupun internal KPK sendiri, maka dipastikan yang bersangkutan tidak akan bisa bekerja maksimal di KPK. Sebab, tidak ada kepercayaan,” tutur Sigit.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyampaikan, setidaknya ada tiga isu besar jika melihat komposisi pimpinan KPK terpilih. Pertama terkait dengan rekam jejak buruk di masa lalu.
”Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik. Hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait dengan pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik,” ujar Kurnia.
Dalam konferensi pers KPK pada Rabu (11/9/2019), Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan penasihat KPK, Tsani Annafari, menyampaikan hasil proses pemeriksaan etik mantan Deputi Bidang Penindakan KPK Firli Bahuri. Dari hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal, terdapat dugaan pelanggaran berat yang dilakukan Firli.
Saut menuturkan, Firli mengadakan dua kali pertemuan dengan Tuanku Guru Bajang Zainul Majdi yang saat itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pertemuan itu terjadi saat KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam divestasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional dan Zainul menjadi salah satu pihak yang diperlukan keterangannya.
Pertemuan antara Firli dan Zainul terjadi pada 12 Mei 2018 dalam acara Hari lahir Ke-84 GP Ansor dan peluncuran penanaman jagung 100.000 hektar di Bonder, Lombok Tengah. Dalam acara itu, Firli dan Zainul duduk pada barisan depan dan berbincang cukup akrab.
Keesokan harinya, Firli dan Zainul kembali bertemu dalam acara farewell and welcome game tennis Danrem 162/WB di Lapangan Tenis Wira Bhakti. Dalam pertemuan ini mereka duduk berdampingan dan berbincang. Adapun foto keakraban adalah Firli menggendong anak dari Tuanku Guru Bajang Zainul Majdi.
”Pertemuan-pertemuan itu tidak ada hubungannya dengan tugas F (Firil) sebagai Deputi Penindakan KPK. F juga tidak pernah meminta izin melakukan pertemuan dengan pihak yang terkait perkara ataupun pihak yang memiliki risiko independensi dan tidak melaporkan seluruh pertemuan-pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK,” kata Saut.
Dugaan pelanggaran kode etik ini kemudian diproses oleh KPK. Namun, pada Juni 2019, Kepolisian Negara RI mengirimkan surat penarikan Firli karena dibutuhkan dan akan mendapat penugasan baru di lingkungan Polri.
Selain itu, masih terdapat pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di KPK. Padahal, ini merupakan mandat langsung dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016. Namun, persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi.
Isu terakhir adalah DPR tidak mengakomodasi masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi calon pimpinan KPK kali ini.
”Mulai dari Ibu Sinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia,” kata Kurnia.
Masih ada kesempatan
Menurut Sigit, Presiden Joko Widodo masih dapat mengambil alih hasil keputusan DPR sebelum melantik kelima unsur pimpinan KPK terpilih. Presiden bersama DPR dapat bersama-sama mengambil keputusan yang jeli untuk persoalan ini.
”Saya kira Presiden bisa mengambil alih kalau memang diperlukan atau mungkin publik yang akan melakukan langkah tersendiri. Namun, jika sampai publik yang mengambil alih, berarti akan ada ketidakpercayaan juga terhadap Presiden,” kata Sigit tegas.
Kurnia juga mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk makin memperkuat kerja sama dan sinergi untuk terus mendesak pemerintah. Dengan begitu, agenda pemberantasan korupsi tidak dapat dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan.
”Kami juga mendesak Presiden Jokowi untuk bertanggung jawab dan menepati janji politiknya untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi. Janji politik itu perlu diwujudkan dalam sikap Presiden terhadap revisi UU KPK yang telah disetujui untuk dibahas,” tutur Kurnia.