Komisioner Kembalikan Tanggung Jawab KPK kepada Presiden Jokowi
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo. Keputusan ini diambil karena keadaan KPK yang dinilai semakin mencemaskan karena revisi UU KPK
Oleh
sharon patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo. Keputusan ini diambil karena keadaan KPK yang dinilai semakin mencemaskan, khususnya karena pembahasan revisi Undang-Undang KPK.
”Setelah mempertimbangkan sebaik-baiknya dari keadaan yang semakin genting, kami pimpinan KPK yang merupakan tanggung jawab tertinggi di KPK dengan berat hati, hari ini, Jumat 13 September 2019, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden Republik Indonesia,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (13/9/2019).
Agus menyampaikan keputusan ini bersama dengan dua pimpinan KPK lainnya, yakni Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Pimpinan KPK menilai, kondisi pemberantasan korupsi semakin mencemaskan, khususnya terkait pembahasan revisi UU KPK yang jika telah disetujui dalam rapat paripurna, maka KPK tidak dapat melawan.
Kekhawatiran para pimpinan KPK terhadap pembahasan revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diperparah dengan pembahasan yang dipercepat dalam waktu 11 hari ke depan oleh pemerintah dan DPR. Badan Legislasi DPR juga menegaskan tak lagi membutuhkan masukan dari masyarakat ataupun dari KPK dalam pembahasan revisi UU KPK.
Hingga saat ini, Pimpinan KPK belum menerima draf resmi dari revisi UU KPK. Agus menyatakan, bahkan janji dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mengundang pimpinan KPK pun seolah janji. Menurut dia, pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
”Oleh karena itu, terhadap UU KPK kami sangat prihatin dan apa betul ini mau melemahkan KPK. Terus terang ini masih penilaian yang sementara, tetapi kami mengkhawatirkan itu. Ada kegentingan apa, sih, sehingga harus buru-buru disahkan,” ujarnya.
Laode menanyakan hal serupa dan berharap agar Presiden Jokowi mau mendengarkan pendapat para pimpinan KPK. Pasalnya, selama proses pembahasan revisi tersebut, pimpinan KPK sama sekali tidak dimintai pendapat.
Setelah mempertimbangkan sebaik-baiknya dari keadaan yang semakin genting, kami pimpinan KPK yang merupakan tanggung jawab tertinggi di KPK dengan berat hati, hari ini, Jumat 13 September 2019, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden Republik Indonesia. (Agus Rahardjo)
”Kami sangat berharap kepada pimpinan tertinggi di Indonesia, ya, kami dimintai juga lah pendapat agar kami bisa jelaskan kepada publik dan pegawai KPK (isi dari revisi UU KPK). Kami serahkan tanggung jawabnya dan tetap menjalankan tugas, tetapi kami menunggu perintah dari Pak Presiden,” ujar Laode.
Proses yang tidak perlu
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto menyampaikan, dari segi kepantasan, masa kerja DPR yang hanya sampai akhir September tidaklah pantas untuk membahas UU KPK. Sebab, ini akan menjadi menjadi bola liar yang tidak terkendali dan tidak sesuai harapan publik.
”Merumuskan dan menyepakati suatu UU yang berlaku secara nasional tentu perlu kejernihan, kearifan, dan waktu yang cukup. Pertimbangan yang aspiratif untuk melihat bagaimana dinamika yang terjadi di masyarakat pun sangat penting,” ujar Sigit.
Menurut dia, revisi UU KPK adalah proses yang tidak perlu karena sama sekali tidak ada urgensi mengubah substansi di dalamnya. Selama ini pun sudah memberikan legal framework dan menjamin eksistensi KPK bekerja dengan baik. ”KPK mendapat kepercayaan publik dengan UU KPK selama ini,” ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi. Sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/ 1998, pelemahan terhadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.
Untuk itu, ICW mendesak Presiden Jokowi bertanggung jawab dan menepati janji politiknya untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi. Janji politik itu perlu diwujudkan dalam sikap presiden terhadap revisi UU KPK yang telah disetujui untuk dibahas.
”Presiden harus mengambil sikap tegas dengan menolak segala usulan yang akan memperlemah KPK serta tidak menyerahkan proses dan pengambilan keputusan pada perwakilannya, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, saja,” kata Kurnia.