Sejumlah elemen masyarakat di Surabaya terus melakukan aksi penolakan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat di Surabaya terus melakukan aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada Selasa (10/9/2019), giliran sivitas akademika Universitas Airlangga melakukan aksi penolakan terhadap revisi UU KPK.
Aksi penolakan dilakukan di Kampus B Unair dengan menuliskan tanda tangan dan cap telapak tangan merah di spanduk hitam. Selain mahasiswa dan dosen Unair, aksi ini juga diikuti elemen masyarakat Surabaya.
Aksi penolakan revisi UU KPK di Surabaya sudah berlangsung sejak Minggu (8/9/2019). Saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) di Jalan Raya Darmo, sejumlah warga menandatangani kain putih sebagai simbol penolakan terhadap segala upaya pelemahan KPK.
Sehari berselang, Senin, unjuk rasa dilakukan oleh belasan orang yang tergabung dalam Arek Suroboyo Peduli KPK di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka berorasi sambil menaburkan bunga di atas spanduk bertuliskan ”Save KPK” yang menjadi simbol matinya pemberantasan korupsi jika revisi Undang-Undang KPK disetujui Presiden.
Direktur Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mengatakan, aksi ini merupakan bagian dari solidaritas 32 kampus di Indonesia yang diikuti oleh lebih dari 1.700 akademisi. Mereka menyatukan suara untuk menolak pelemahan lembaga antirasuah melalui revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Dia meyakini, Presiden Joko Widodo akan mendengarkan suara rakyat yang banyak menolak revisi UU KPK. Sebab, revisi tersebut dikhawatirkan melemahkan KPK dan membuat lembaga tersebut kehilangan independensinya.
”Aturan mengenai penyadapan di revisi UU KPK jelas bisa memengaruhi independensi KPK karena ada intervensi dalam bentuk pengawasan dari Dewan Pengawas KPK. Jika aturan mengenai penyadapan disahkan, operasi tangkap tangan sulit dilakukan,” katanya.
Terkait keberadaan Dewan Pengawas, menurut Herlambang, hal tersebut tidak diperlukan karena secara ketatanegaraan KPK merupakan watchdog institution atau badan pengawas. Secara kelembagaan, KPK dinilai sudah menampilkan kinerja yang sesuai dengan hukum dan kerja progresif. Berbagai hal yang diajukan dalam RUU Revisi dinilai tidak masuk akal.
Arima Paripurna dari Pusat Studi Anti Korupsi dan Pidana Unair menambahkan, aksi ini merupakan bentuk keluh kesah masyarakat yang merasa dilukai haknya. Jika revisi UU KPK yang berisi pelemahan disahkan, rakyat menjadi pihak yang paling dirugikan karena pengusutan korupsi uang rakyat semakin sulit.
”Dalam revisi UU KPK, saya melihat ada sejumlah unsur yang bisa melemahkan posisi KPK dalam proses penindakan. Padahal selama ini kami melihat korupsi adalah kejahatan, di mana korbannya masyarakat Indonesia,” katanya.
Dalam revisi UU KPK, saya melihat ada sejumlah unsur yang bisa melemahkan posisi KPK dalam proses penindakan. Padahal, selama ini kami melihat korupsi adalah kejahatan, di mana korbannya masyarakat Indonesia.
Sebelumnya, DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kalangan menilai revisi itu berpotensi melemahkan KPK karena akan dibentuk Dewan Pengawas KPK, pembatasan asal penyidik KPK, penuntutan yang dilakukan KPK harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung, serta KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan.