KPK Berharap Menkumham Menjalankan Perintah Presiden Sebaik-baiknya
Presiden Jokowi harus mendengar kritik publik yang berkembang di masyarakat. Tidak hanya mendengar masukan dari Menteri Hukum dan HAM.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam menentukan sikap atas draft Rancangan Undang-Undang KPK inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly untuk memberi masukan. Meski begitu, Presiden juga harus mendengarkan kritik yang berkembang di masyarakat.
“KPK menghormati perintah Presiden Joko Widodo hari ini yang meminta Menkumham mempelajari draft RUU KPK inisiatif DPR tersebut. Kami berharap perintah tersebut bisa dijalankan sebaik-baiknya,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (9/9/2019).
Senin siang sekitar pukul 10.35 WIB, Menkumham menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan untuk menerima dan mempelajari draft revisi UU KPK. Yasonna juga menegaskan, surat presiden (surpres) sebagai penanda dimulai atau ditolaknya pembahasan RUU bersama DPR belum diterbitkan.
Febri menyampaikan, jangan sampai ada kesimpulan-kesimpulan yang prematur apalagi klaim dan tuduhan dari sejumlah politisi seolah-olah Presiden sudah menyetujui RUU KPK inisiatif DPR. Pasalnya, sampai saat ini belum ada surpres ke DPR untuk membahas lebih lanjut RUU tersebut.
Apabila RUU KPK benar disahkan, maka kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin dari Dewan Pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden. Selain itu, personel penyidik KPK pun berasal dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan aparatur sipil negara (ASN).
Kemudian, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi ini pun akan membuat penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun boleh dihentikan oleh KPK.
“Jika revisi yang terjadi mengandung poin-poin seperti yang dibahas akhir-akhir ini, maka bukan tidak mungkin KPK akan lumpuh dan kemudian mati,” kata Febri.
Terkait dengan pengawasan, KPK selama ini sangat terbuka dengan pengawasan dari berbagai pihak. Baik melalui rapat kerja DPR, audit kinerja dan keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan, pengawasan horizontal sejak tahap penyidikan melalui praperadilan, hingga pengawasan berlapis untuk menguji bukti-bukti yang dimiliki oleh KPK di proses peradilan, yaitu pengadilan tipikor, pengadilan tinggi, sampai Mahkamah Agung.
“Pengawasan internal KPK pun bekerja semaksimal mungkin. Ada mekanisme Komite Etik jika Pimpinan KPK diduga melanggar etik. Bahkan, unsur eksternal KPK lebih dominan dalam majelis etiknya tersebut,” tutur Febri.
Sementara itu, terhadap pegawai KPK juga ada mekanisme Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) jika diduga ada pelanggaran berat. Ada pula pengawasan secara berlapis bagi pegawai KPK yang berpuncak pada Pimpinan KPK.
Mendengar kritik publik
Ahli hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menyampaikan, Presiden Jokowi harus mendengar kritik publik yang berkembang di masyarakat. Tidak hanya mendengar masukan dari Menteri Hukum dan HAM.
“Misalnya, soal kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi KPK yang juga ada dalam RUU KPK. Logikanya kalau kewenangan bertambah itu baik, tetapi penambahan kewenangan ini justru akan melemahkan dan menambah persoalan,” kata Agustinus.
Tidak adanya kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3, yakni dalam rangka memberikan perlindungan. Kewenangan menerbitkan SP3 dalam prakteknya seringkali menjadi ajang korupsi karena orang bisa memperjualbelikan kewenangan tersebut.
Agustinus menjelaskan, dengan tidak adanya kewenangan menerbitkan SP3, maka dengan sendirinya KPK akan bekerja ekstra hati-hati untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebab, jika sudah ditetapkan tersangka, KPK tidak punya kewenangan untuk mencabut.
Selain itu, tersangka yang ditetapkan KPK pun tidak dapat mengancam para pegawai KPK karena tidak ada kewenangan untuk mencabut. Maka dengan sendirinya, kewenangan ini juga akan memproteksi pegawai KPK.
“Tidak dimilikinya itu (kewenangan menerbitkan SP3) malah kekuatan. Presiden harus tahu persoalan ini karena menambah kewenangan tidak selalu menguatkan KPK. Maka harus dengar dulu alasannya,” kata Agustinus.
Secara tegas, Agustinus mengatakan, Presiden sangat berkepentingan dalam persoalan RUU KPK. Tanpa bebas dari korupsi, Indonesia tidak mungkin bisa menjalankan misi membangun ekonomi karena investor asing enggan berinvestasi di negara yang korup.