Pemerintah Serius Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua
Tugas dan kewenangan Komnas HAM adalah merumuskan peristiwa, termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan. Jaksa Agung, sebagai penyidik, bertugas memperkuat rumusan peristiwa.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus membuka ruang dialog untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua. Dialog tersebut untuk memilih apakah tetap menggunakan cara yuridis atau nonyuridis. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak Presiden agar segera membawa kasus dugaan pelanggaran HAM berat ke pengadilan demi memberikan keadilan bagi masyarakat Papua.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, di Jakarta, Selasa (3/9/2019), membantah tuduhan bahwa pemerintah tidak serius menangani dugaan pelanggaran HAM berat di Papua. Narasi ini, menurut dia, selalu digembar-gemborkan, terlebih pasca-kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Dia menjelaskan, pemerintah bukannya enggan menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat. Namun, ada teknis hukum yang belum bisa terpenuhi. Dia memaparkan, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung telah berkoordinasi untuk menangani tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).
”Masalahnya, antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung belum sepakat. Temuan Komnas HAM ternyata belum cukup untuk dapat diteruskan dalam proses ke pengadilan,” katanya.
Saat ini, lanjutnya, untuk kasus Wasior dan Wamena, koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terus berlanjut untuk melengkapi syarat formal dan material agar dapat dilanjutkan ke pengadilan.
”Untuk Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II tahun 2003 telah mengadili delapan anggota Polri dan telah berkekuatan hukum tetap. Kalau sudah diselesaikan satu kasus dalam proses peradilan, tentu tidak bisa dihukum dua kali. Hal-hal seperti ini yang mengisyaratkan pemerintah bukannya enggan, tetapi menyangkut hal teknis,” tuturnya.
Tradisi menyelesaikan masalah
Oleh sebab itu, ujar Wiranto, pemerintah terus membuka pintu dialog. Apakah penyelesaian kasus ini tetap melalui jalur yuridis, yang bakal memakan waktu, atau melalui jalur nonyudisial. Dia mencontohkan, Papua dan Papua Barat punya tradisi menyelesaikan masalah dengan cara kekeluargaan.
”Di papua dan Papua Barat ada tradisi bakar batu. Kalau ada perang dan ada yang terbunuh, diadakanlah bakar batu. Pesta-pesta, sembelih binatang, lalu makan-makan, menari-menari, kemudian selesai. Ini salah satu budaya yang kita gunakan untuk jalur nonyudisial,” katanya.
Peneliti Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan, salah satu yang masuk dalam peta jalan penyelesaian masalah Papua adalah pentingnya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua dan menyeret pelakunya ke pengadilan HAM. Evaluasi operasi militer di seluruh wilayah Papua juga harus dilakukan dengan prioritas menangani masalah pengungsi (Kompas, 30/8/2019).
Dihubungi terpisah, komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan, argumen Wiranto yang hendak menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat ke jalur nonyudisial merupakan upaya politik impunitas. Padahal, keadilan hanya akan didapat ketika kasus itu dibawa ke pengadilan.
”Apalagi, dalam sebuah pertemuan pada tahun 2018, Presiden sudah memerintahkan Jaksa Agung Prasetyo (menyelesaikannya), tetapi belum ditindaklanjuti,” ucapnya.
Perintah Presiden
Dia menyebutkan, upaya Wiranto untuk membawa kasus itu ke jalur nonyudisial sama saja dengan melawan perintah Presiden. Saat ini, lanjutnya, hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus Wasior dan Wamena sudah diberikan ke Kejaksaan Agung. Sementara Komnas HAM sedang menyelidiki kasus Paniai untuk menentukan apakah peristiwa berdarah itu masuk pelanggaran HAM berat atau tidak.
Choirul membantah bahwa tersendatnya penyelesaian kasus ini disebabkan hal teknis hukum. Justru dia menilai, Jaksa Agung Prasetyo terkesan mengada-ada dengan meminta bukti penyidikan yang seharusnya dilakukan oleh Jaksa Agung.
Menurut Choirul, tugas dan kewenangan Komnas HAM adalah merumuskan peristiwa, termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan. Tugas itu dilakukan Komnas HAM sebagai penyelidik. Jaksa Agung, sebagai penyidik, yang bertugas memperkuat rumusan peristiwa. Salah satunya, dengan merampas surat-surat atau dokumen penting serta memaksa terduga untuk diperiksa.
”Itu tugasnya Jaksa Agung. Persoalannya, Jaksa Agung meminta itu semua (penyidikan) kepada kami, ya, tidak mungkin. Jangankan pelanggaran HAM berat, pidana biasa pun ini tak mungkin dilakukan,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjutnya, ada dua jalan keluar untuk mengatasi stagnasi kasus ini. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung bisa mengeluarkan surat perintah penyidik kepada penyelidik untuk melakukan berbagai hal. Hanya saja, surat perintah itu tidak pernah dikeluarkan.
”Kalau Jaksa Agung merasa tidak mampu, keluarkan surat perintahnya. Kalau ada, kami jalan. Ini proses hukum, bukan negosiasi. Kalau ini tidak dilakukan dengan prosedur yang benar, apa yang sudah dilakukan selama ini terancam batal demi hukum,” tutur Choirul.
Selanjutnya, Presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah untuk mengatasi kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang macet di Kejaksaan Agung. Komnas HAM diberi kewenangan sebagai penyidik. ”Pasti tuntas,” ucapnya.