Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan semakin membengkak apabila iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tidak dinaikkan. Namun, kenaikan iuran juga akan dibarengi pembaruan data kepesertaan dan redesain program jaminan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan semakin membengkak apabila iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tidak dinaikkan. Namun, kenaikan iuran juga akan dibarengi pembaruan data kepesertaan dan redesain program jaminan.
Pemerintah dan DPR belum memutuskan tenggat kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dalam rapat kerja bersama Komisi IX dan XI DPR, Senin (2/9/2019).
Kenaikan iuran peserta dapat dilakukan setelah pembaruan data peserta program JKN-KIS selesai. Namun, keputusan kenaikan iuran tetap menjadi wewenang pemerintah.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, kenaikan iuran peserta program JKN-KIS untuk mendukung keberlangsungan BPJS Kesehatan dalam jangka menengah. Besaran kenaikan iuran juga sudah mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar (ability to pay).
”Kenaikan iuran peserta diharapkan dapat mengatasi persoalan cash flow BPJS Kesehatan sehingga dapat melakukan pembayaran klaim fasilitas kesehatan tepat waktu,” kata Mardiasmo.
Setelah iuran dinaikkan, BPJS Kesehatan tetap perlu melakukan evaluasi lima tahun penyelenggaraan dan redesain program JKN-KIS. Redesain program didasarkan hasil audit dan temuan BPKP yang mencakup sistem kepesertaan, manajemen iuran, biaya manfaat fasilitas kesehatan, serta strategi pembayaran klaim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengusulkan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik PBI yang dibayarkan melalui APBN maupun APBD, naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000.
Adapun peserta bukan penerima upah kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Sementara itu, iuran peserta penerima upah badan usaha dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Untuk peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah yang diterima (Kompas, 28/8/2019)
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, selama ini defisit BPJS Kesehatan ditengarai adanya gap antara iuran dan biaya per kapita. Pada 2019, rata-rata iuran peserta sebesar Rp 36.700 per orang, sementara rata-rata biaya kesehatan Rp 50.700 per orang.
Untuk itu, dibutuhkan upaya fundamental guna mencegah defisit semakin melebar, salah satunya menaikkan iuran peserta program JKN-KIS. Kenaikan premi per orang per bulan itu menjadi opsi paling memungkinkan untuk mempersempit gap antara iuran dan biaya.
”Defisit BPJS Kesehatan tahun 2019-2024 akan melebar jika tidak melakukan upaya yang sifatnya bauran kebijakan, termasuk dengan menaikkan iuran peserta,” kata Fahmi dalam rapat kerja bersama Komisi IX dan XI DPR di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Mengutip data BPJS Kesehatan, defisit BPJS Kesehatan tersebut berpotensi melebar selama periode 2019-2024. Rinciannya, defisit tahun 2019 sebesar Rp 32,8 triliun menjadi Rp 39,5 triliun (2020), Rp 50,1 triliun (2021), Rp 58,6 triliun (2022), Rp 67,3 triliun (2023), hingga Rp 77,9 triliun (2024).
Pembaruan data
Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun, berpendapat, pemerintah seharusnya memperbaiki data kepesertaan sebelum memutuskan kenaikan iuran. Hasil audit BPKP menunjukkan ada masalah data PBI tidak valid. Masalah tersebut harus segera diatasi untuk mencegah munculnya rasa ketidakadilan.
”Penyebab data peserta tidak valid bermacam-macam, mulai dari nomor induk kependudukan ganda sampai ada beberapa kolom identitas yang tidak terisi. Ini seharusnya jadi hal paling sederhana dalam verifikasi data,” kata Misbakhun.
Menurut dia, pemerintah perlu membentuk panitia khusus JKN-KIS untuk menyiapkan redesain program. Panitia khusus itu gabungan dari sejumlah pemangku kebijakan untuk memetakan masalah dan merumuskan solusi keberlangsungan BPJS Kesehatan. Mereka juga akan menyiapkan pembanding iuran peserta.
Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi Dulung menambahkan, pemerintah terus memperbarui data PBI. Per Agustus 2019, ada sekitar 4,5 juta peserta JKN-KIS yang dinonaktifkan karena tidak pernah mengakses fasilitas kesehatan.
”Data peserta yang dinonaktifkan itu akan digantikan dengan data yang sudah ada dalam basis data terpadu, tetapi belum menerima fasilitas kesehatan,” kata Andi.
Menurut data terpadu Kemensos, total peserta PBI mencapai 96,8 juta dari target 10 juta tahun 2019. Namun, tidak semua data PBI valid sehingga perlu diperbaiki dan disinkronkan dengan nomor induk kependudukan. Pembaruan data PBI diupayakan setiap sebulan sekali.