Jangan Sampai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tersandera RKUHP
Masalah prosedural dan penolakan sejumlah kalangan masyarakat, termasuk di DPR, membayangi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Masyarakat menunggu bukti komitmen DPR untuk mengegolkan RUU yang merupakan inisiatif DPR ini.
Masalah prosedural dan penolakan sejumlah kalangan masyarakat, termasuk di DPR, membayangi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Masyarakat menunggu bukti komitmen DPR untuk mengegolkan RUU yang merupakan inisiatif DPR ini.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dinanti masyarakat, sesuai dengan jadwal di Dewan Perwakilan Rakyat, akan disahkan pada 25 September 2019. Jika prosesnya berjalan lancar, itu berarti kurang dari sebulan lagi, Indonesia akan memiliki undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual.
Namun, melihat dinamika proses pembahasan RUU yang berlangsung selama ini, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut berpotensi tersandera dan tidak disahkan pada akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 ini. Apalagi, satu kesempatan rapat pembahasan RUU tersebut, yakni pada 26 Agustus 2019, dilewatkan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sejauh ini, salah satu alasan yang kerap menjadi kendala adalah persoalan aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual yang perlu disesuaikan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas di Komisi III DPR. Beberapa fraksi berpandangan, aturan pemidanaan perlu disinkronkan agar tidak berbeda antara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RKUHP sebagai undang-undang induk pidana.
Salah satu alasan yang kerap menjadi kendala adalah persoalan aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual yang perlu disesuaikan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Persoalannya, Panja RKUHP di Komisi III DPR pun saat ini masih berkutat dengan sejumlah pasal krusial sehingga rencana Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk rapat bersama dengan Panja RKUHP belum menemui titik terang. Selain itu, aturan pembahasan pemidanaan seperti itu juga bisa membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersandera oleh RKUHP. Sebab, jika kitab hukum pidana itu tidak berhasil disahkan, RUU Penghapusan kekerasan Seksual juga berpotensi gagal disahkan.
Kendati demikian, di tengah sisa waktu efektif yang semakin sempit, Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Dasopang masih tetap optimistis. Menurut dia, panja sedang mencoba mencari titik tengah agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap bisa disahkan sesuai jadwal, yakni pada 25 September 2019 atau 27 September 2019 dalam rapat paripurna DPR.
Marwan mengakui memang ada kendala berupa prosedur pembahasan karena bentrok dengan aturan pemidanaan yang sedang dibahas di RKUHP. Namun, itu seharusnya tidak menjadi alasan gagalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan.
”Memang bisa saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersandera RKUHP, tetapi saya masih berharap tidak. Kami terus mencari jalan tengah dan melobi pihak-pihak yang tidak setuju dengan RUU ini,” kata Marwan.
Dua opsi
Sejauh ini, beberapa opsi jalan tengah yang mengemuka, antara lain, mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tanpa bab pemidanaan. Itu artinya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya mengatur hukum administratif terkait pertanggungjawaban negara dalam aspek pencegahan, perlindungan, serta rehabilitasi terhadap para korban kekerasan seksual. Sementara hukum pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual tetap mengacu pada RKUHP.
Opsi kedua, tetap membahas aturan pemidanaan di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sesuai dengan lingkup jenis kekerasan seksual yang sudah diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Di luar perdebatan soal pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran di kalangan DPR bahwa aturan pemidanaan di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan bentrok dengan RKUHP. Karena yang diatur adalah jenis kekerasan seksual yang berbeda.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya sudah selangkah lebih maju dengan mengatur adanya sembilan jenis kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya sudah selangkah lebih maju dengan mengatur adanya sembilan jenis kekerasan seksual.
Sementara di RKUHP, substansi kekerasan seksual diatur hanya melalui dua pasal, yaitu pencabulan dan perkosaan. Marwan mengatakan, agar RUU PKS tetap disahkan tepat waktu, aturan pemidanaan cukup menyangkut tujuh jenis kekerasan seksual yang tidak ada di RKUHP.
”Kami sebenarnya tetap ingin RUU ini ada aturan pemidanaan karena jika tidak tentu RUU ini tidak menggigit. Kami akan coba mengatur aturan pemidanaan untuk tujuh jenis kekerasan yang di luar RKUHP, tetapi yang dua jenis kekerasan seksual itu tetap kami serahkan ke panja RKUHP,” kata Marwan.
Selain kendala prosedural pembahasan RUU terkait aturan pemidanaan itu, proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah menyatakan tidak setuju secara terbuka, beberapa elemen masyarakat juga ikut menolak pengesahan RUU tersebut.
Fraksi PKS menolak dengan alasan adanya potensi pertentangan antara materi RUU dan nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilainya akan memunculkan polemik di masyarakat. Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berperspektif liberal.
Namun, menurut anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Diah Pitaloka, pandangan yang berkembang, baik di internal panja dari sejumlah fraksi maupun dari sebagian kalangan masyarakat, bahwa RUU penghapusan kekerasan Seksual mendorong liberalisasi kehidupan seksual, tidak tepat.
”Kami bukan ingin mengamini liberalisasi kehidupan seksualitas, tetapi ingin membantu korban yang mengalami kekerasan seksual agar mendapat proses rehabilitasi dan perlindungan yang seharusnya,” ujar Diah.
Kami bukan ingin mengamini liberalisasi kehidupan seksualitas, tetapi ingin membantu korban yang mengalami kekerasan seksual agar mendapat proses rehabilitasi dan perlindungan yang seharusnya.
Tidak akan tumpang tindih
Soal kekhawatiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RKUHP akan bertabrakan atau tumpang tindih, Ketua Panja Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Vennetia R Danes dalam setiap kesempatan menegaskan hal itu tidak akan terjadi. Karena antara tindak pidana yang satu dan tindak pidana yang lain dalam sembilan jenis tindak pidana dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdapat perbedaan prinsip.
Tidak akan terjadi tumpang tindih antara kedua RUU tersebut karena enam alasan. Pertama, banyak sekali modus operandi kekerasan seksual yang berkembang sehingga celah hukum selalu dicari oleh para pelaku. Kedua, korban kekerasan seksual kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak yang harus dilindungi. Ketiga, masih dalam konteks korban kekerasan seksual, faktor ekonomi, pendidikan dan strata sosial masih mendominasi para korban.
Tidak akan terjadi tumpang tindih antara kedua RUU tersebut karena enam alasan.
Alasan keempat, sedapat mungkin jangan sampai pelaku kejahatan lolos dari jeratan hukum, kendati pun penghukuman bukanlah satu-satunya tujuan dari pengaturan ini. Kelima, pengaturan dalam KUHP sangat terbatas dan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Keenam, agar lebih komprehensif dalam menanggulangi kekerasan seksual berdasarkan hasil penelitian panjang yang telah dilakukan terhadap para korban kekerasan seksual.
Karena itulah, supaya tidak tumpang tindih, menurut Vennetia, penting sekali perumusan tindak pidana kekerasan seksual yang terdapat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disinkronkan dengan RKUHP.
”Setelah proses konsultasi dan beberapa konsinyering yang melibatkan pakar/ahli hukum, pemerintah pada prinsipnya berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang pidana murni dan bukan pidana administratif,” kata Vennetia, Kamis (29/8/2019), seraya menyatakan bahwa tim pemerintah solid satu suara sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan pada akhir September 2019.
Karena itu, Vennetia, yang juga Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berharap Panja Pemerintah dan Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seirama dalam semangat yang sama, yakni mengesahkan RUU tersebut sesuai dengan jadwal yang ditetapkan DPR.