Pemindahan Ibu Kota Dikhawatirkan Bebani Pasokan Migas
Pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur dikhawatirkan akan semakin menambah krisis minyak dan gas bumi yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Pemerintah diharapkan menentukan fokus strategi untuk memastikan pasokan energi bagi ibu kota baru, serta cadangan minyak dan gas bumi nasional.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur dikhawatirkan akan semakin menambah krisis minyak dan gas bumi yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Pemerintah diharapkan menentukan fokus strategi untuk memastikan pasokan energi bagi ibu kota baru, serta cadangan minyak dan gas bumi nasional.
Senin (26/8/2019) siang, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ibu kota Indonesia akan pindah ke sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Perpindahan ibu kota diharapkan mengurangi beban di Pulau Jawa yang saat ini menampung 54 persen total penduduk Indonesia (150 juta orang) dan menyumbang 58 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Beban tersebut selama ini memicu ketimpangan pemerataan ekonomi, selain kemacetan dan polusi di ibu kota Indonesia, DKI Jakarta.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mengatakan, kebutuhan bahan bahan minyak (BBM) nasional akan otomatis meningkat, setidaknya dari kebutuhan transportasi dan kelistrikan di ibu kota baru.
”Kalau pegawai negeri sipil pemerintahan pindah ke sana dan masing-masing punya satu mobil baru, akan ada kurang lebih 2,2 juta mobil yang butuh BBM. Belum lagi soal kebutuhan listrik yang masih banyak dipasok batubara dan BBM,” tuturnya dalam diskusi publik berjudul ”WOWS dan Produksi Minyak Kita” bersama Keuangan.co di Jakarta, hari ini.
Ia berpendapat, bertambahnya kebutuhan itu akan menambah krisis minyak dan gas bumi (migas) nasional. Selama tahun 2015 hingga prediksi di 2020, jumlah produksi minyak siap jual (lifting) terus menurun 11 persen setiap tahun.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, lifting migas sekitar 775.000 barel per hari. Jumlah itu turun dibandingkan 778.000 barel per hari di 2018 dan 803.800 barel per hari di 2017.
Krisis migas mengakibatkan defisit migas yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Januari-Juli 2019, defisit migas sebesar 4,924 miliar dollar AS. Nilai itu didapat karena ekspor migas hanya 7,715 miliar dollar AS dibandingkan dengan ekspor di 2018 yang sebesar 9,862 dollar AS.
”Pemerintah perlu menyiapkan infrastuktur yang tepat. Salah satu yang bisa disiapkan adalah mengembangkan kendaraan publik. Jadi, jangan sampai permasalahan di Jakarta pindah ke ibu kota baru,” lanjut Bhima.
Sementara itu, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat, dari segi pasokan listrik, pemerintah bisa mengandalkan bahan bakar gas yang ditopang pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) seperti di Bontang, Kalimantan Timur, atau kilang minyak dan gas di timur Indonesia.
”Pasokan listrik harus jadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk pembangunan ibu kota baru, termasuk BBM. Ke depan, pemerintah bisa pakai PLTG atau pembangkit listrik berbahan energi baru dan terbarukan (EBT),” tuturnya saat ditemui pada kesempatan sama.
Ia melanjutkan, EBT yang bisa dimanfaatkan di kawasan yang kini ditunjuk sebagai ibu kota baru adalah tenaga matahari atau nuklir yang akan aman di wilayah yang tak rentan gempa.
Desain kawasan
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dalam konferensi pers seusai pernyataan Presiden soal lokasi baru ibu kota RI, di Istana Negara, Senin (26/8/2019), mengungkapkan, semua persiapan pemindahan ibu kota sudah harus selesai tahun 2020. Untuk itu, sebelum tahun 2020, pemerintah sudah menyiapkan naskah akademik yang menjadi dasar rancangan undang-undang untuk ibu kota baru.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyiapkan tiga kluster pembangunan infrastruktur fisik untuk ibu kota baru. Kluster pertama menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono adalah desain kawasan.
”Untuk pembangunan infrastruktur kami pakai tiga kluster. Pertama, mendesain kawasannya sendiri. Setelah ditetapkan kawasannya, baru kami desain kawasannya, seperti tata ruangnya, rencana tata bangunan, dan lingkungannya. Itu akan kami selesaikan 2019 ini,” ujar Basuki.
”Kluster kedua pembangunan infrastruktur dimulai tahun 2020 dengan membangun prasarana dasar seperti jalan dan kebutuhan air bersih, termasuk bendungan. Kami sudah dapat lokasi bendungan dan intake untuk melayani ibu kota negara. Nanti pada 2020 paling cepat, pada akhir atau pertengahan 2020, design and build kami mulai,” ujarnya.
Kalau pegawai negeri sipil pemerintahan pindah ke sana dan masing-masing punya satu mobil baru, akan ada kurang lebih 2,2 juta mobil yang butuh BBM. Belum lagi soal kebutuhan listrik yang masih banyak dipasok batubara dan BBM.
Pembangunan infrastruktur dasar di ibu kota baru ini, menurut Basuki, bakal meniru renovasi Gelora Bung Karno yang dipakai untuk Asian Games, beberapa waktu lalu, yakni secara bersamaan membuat desain dan membangunnya.
”Sewaktu kita renovasi GBK, tidak common atau usual. Enggak desain dulu, baru tender. Itu lama, jadi design and build. Nanti kontraktor dengan konsultan jadi satu, dia mendesain, kita kasih kriteria desainnya, dia mendesain ada inovasi di situ tapi cepat. Itu untuk prasarana dasarnya, jalan dan air, kami akan mulai design and build-nya pada pertengahan tahun depan,” kata Basuki.