Untuk menghindari potensi amendemen Undang-Undang Dasar 1945 berkembang liar, sejumlah partai politik sepakat membatasi substansi perubahan hanya untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Oleh
Agnes Theodora, Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menghindari potensi amendemen Undang-Undang Dasar 1945 berkembang liar, sejumlah partai politik sepakat membatasi substansi perubahan hanya untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara. Partai Gerindra yang awalnya sempat mengusulkan mengamendemen konstitusi kembali ke bentuk asalnya pun mulai melunak.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani di sela-sela acara Sidang Tahunan Bersama MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019), mengatakan, perlu ada komitmen kuat dari para pemimpin partai politik dan Dewan Perwakilan Daerah bahwa rencana amendemen terbatas hanya untuk mengembalikan GBHN, tetapi tidak menyangkut hal lain.
”(Perlu) komitmen semua agar tegas amendemen terbatas di GBHN saja. Jika kemudian pasal-pasal lain dibongkar, dengan alasan menyesuaikan satu pasal dengan pasal yang lain, saya rasa apa yang dikhawatirkan (amendemen berkembang menjadi bola liar) bisa saja terjadi,” kata Muzani.
Ia mengatakan, melihat dinamika politik yang selalu tidak pasti, komitmen itu tentu belum bisa dipastikan. Meski demikian, Muzani melihat ada peluang untuk mengikat komitmen partai-partai politik.
”Apalagi saya melihat kalau pandangan yang ada saat ini sudah agak lebih berbeda daripada ketika dulu kami rapat fraksi-fraksi di MPR,” ujarnya.
Saat wacana amendemen UUD 1945 digodok pada 2018, fraksi-fraksi sudah memberikan pandangan mereka masing-masing terkait substansi amendemen. Menurut Kepala Badan Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar, saat itu beberapa fraksi, termasuk Gerindra, ingin agar amendemen UUD 1945 ditujukan untuk mengembalikan konstitusi ke bentuk aslinya.
Selain itu, dalam berbagai kesempatan, sejumlah elite Partai Gerindra juga mengusulkan amendemen UUD 1945 dilakukan untuk mengembalikan konstitusi ke bentuk asalnya. Konsekuensinya, MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Pemilihan presiden-wakil presiden juga kembali dipilih secara tidak langsung oleh MPR.
”Kita kembalikan seperti itu (pemilihan presiden oleh MPR). Ini hubungannya dengan sila keempat kita, permusyawaratan perwakilan. Dulu kami sudah coba kembalikan melalui pemilihan kepala daerah lewat DPRD, tetapi kami kalah suara,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo (Kompas, 12/8/2019).
Berbeda dengan pandangannya sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menilai, amendemen UUD 1945 sebaiknya tidak mengembalikan sistem pemilu menjadi tidak langsung. ”Kita sudah mengamendemen agar pemilu dibuat menjadi langsung dipilih rakyat. Saya kita itu sudah baik. Jangan dikembalikan lagi ke MPR. Mari kita amendemen, tetapi tidak semua harus diubah total,” katanya.
Sejauh ini Indonesia sudah empat kali mengamendemen konstitusi. Amendemen terjadi pascareformasi pada kurun waktu 1999-2002. Amendemen ketiga UUD 1945 pada 2001 tercatat mencakup sejumlah perubahan paling signifikan, antara lain, mengubah sistem pemilihan presiden-wakil presiden dari tidak langsung menjadi langsung, mencabut kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, dan mengatur prosedur pemberhentian presiden-wakil presiden oleh MPR yang lebih ketat.
Salah satu konsekuensi jika ingin mengembalikan UUD 1945 ke bentuk asli adalah mengembalikan sistem pemilihan presiden-wakil presiden menjadi tidak langsung. Sejauh ini Indonesia sudah empat kali menjalankan pemilihan presiden secara langsung yang hasilnya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan menolak wacana amendemen kelima UUD 1945 mengembalikan sistem pemilu tidak langsung seperti saat era Orde Baru. Hal itu disampaikan Jokowi pada 14 Agustus 2019 saat bertemu para pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta. ”Saya ini, kan, presiden pilihan rakyat, masak menyetujui presiden dipilih MPR,” ujarnya.
Batasan tertulis
Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung mengatakan, amendemen konstitusi telah diatur secara jelas di dalam Pasal 37 UUD 1945. Oleh karena itu, poin-poin atau pasal yang ingin diamendemen harus diusulkan secara tertulis sehingga tidak bisa dilakukan amendemen tanpa kejelasan. Pengajuan perubahan itu pun harus disertai dengan alasan yang jelas.
”Amendemen itu dimungkinkan, dan memang diatur oleh konstitusi. Tetapi, kan, tidak bisa juga setiap saat amendemen dilakukan karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi,” katanya.
Wacana yang mengemuka untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara berpotensi menimbulkan pro dan kontra karena bisa mengganggu kedaulatan rakyat yang diwujudkan atau direpresentasikan melalui pemilihan umum langsung.
”Kalau dikembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi, itu akan berpotensi mengganggu kedaulatan rakyat yang selama ini sudah berlangsung karena presiden saat ini sudah tidak lagi dipilih oleh MPR. Kecuali kalau presiden masih dipilih oleh MPR,” katanya.