PDI-P Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara
Posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak dimaksudkan untuk menabrak sistem presidensial yang menempatkan presiden sebagai kekuasaan tertinggi negara.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menginginkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Namun, bukan berarti MPR akan menjelma seperti di era Orde Baru yang dapat menentukan presiden dan wakil presiden. Sebagai lembaga tertinggi negara, kewenangan MPR sebatas menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara.
Rangkaian Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Denpasar, Bali, ditutup Sabtu (10/8/2019). Hasil kongres menetapkan agar partai menjadi poros kekuatan politik nasional, yaitu sebagai partai utama pengusung pemerintah. PDI-P berkomitmen memastikan kebijakan politik dan program kerja Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk tetap dalam satu haluan, yaitu berdasarkan ideologi Pancasila, konstitusi UUD 1945, dan memilih jalan Trisakti.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menjelaskan, untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional, PDI-P merekomendasikan amendemen terbatas terhadap UUD 1945. Amendemen tersebut terkait dengan penetapan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak dimaksudkan untuk menabrak sistem presidensial yang menempatkan presiden sebagai kekuasaan tertinggi negara. ”Wewenang MPR dibatasi hanya untuk menyusun GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara),” kata Hasto.
Penetapan GBHN penting untuk mengelola negara yang begitu besar. Sebab, pasca-Reformasi, regulasi pemerintah di level kabupaten/kota, provinsi, dan pusat kerap tak berada dalam satu haluan. Kebijakan pemerintah pun cenderung berganti setiap ada pergantian kepemimpinan.
Selain itu, MPR sebagai lembaga tertinggi dinilai merupakan representasi keterwakilan seluruh masyarakat. Hal itu merupakan elemen terpenting dalam Demokrasi Pancasila.
Amendemen terbatas
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Ahmad Basarah menjelaskan, amendemen yang dimaksud terbatas pada dua pasal, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945. Kedua pasal tersebut mengatur tentang eksistensi, kedudukan hukum, dan wewenang MPR.
”Pengertian menjadikan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara nantinya tentu tidak sama dan sebangun dengan MPR pada era Orde Baru, yang menempatkan presiden sebagai mandataris MPR karena pada waktu itu presiden dan wapres dipilih oleh MPR,” tutur Basarah.
Dalam rencana amendemen, presiden dan wakil presiden tetap dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, penyusunan visi, misi, dan program pembangunan lima tahun harus bersumber pada haluan pembangunan nasional. Cetak biru haluan tersebut ditetapkan oleh MPR.
Dengan demikian, harmoni, kontinuitas, dan kepastian pembangunan nasional secara terencana dan terukur bisa terjamin. ”Tidak seperti praktik sekarang ini, ganti presiden, ganti gubernur, bupati, dan wali kota, maka bergantilah visi-misi dan program-programnya sesuai selera pemimpinnya masing-masing,” lanjut Basarah.
Ia berharap, keberadaan GBHN dapat menjamin arah pembangunan nasional dalam kurun waktu 25 tahun, bahkan 100 tahun ke depan. Dengan demikian, ada kepastian hukum dan pembangunan nasional jangka pendek, menengah, dan panjang.
Basarah menambahkan, posisi MPR sebagai lembaga tinggi negara tidak serta-merta membuat lembaga tersebut berhak memecat presiden jika dinilai tak mematuhi GBHN. Sebab, mekanisme pemberhentian presiden tetap mengacu pada Pasal 7A UUD 1945.
”Pasal 7A tidak disentuh dalam amendemen yang diusulkan PDI-P,” katanya.
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat.
Pengertian menjadikan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara nantinya tentu tidak sama dan sebangun dengan MPR pada era Orde Baru.
Selain itu, presiden dan atau wakil presiden juga bisa dipecat jika terbukti tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menuturkan, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara perlu dikembalikan. Kewenangannya saat ini juga perlu ditambah untuk membentuk GBHN.
Selain itu, lanjutnya, keanggotaannya perlu pula ditambah dengan utusan daerah dan golongan, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 sebelum amendemen.
Menurut dia, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak serta-merta berdampak pada mudahnya pemakzulan presiden. Sebab, saat ini Indonesia pun tidak melaksanakan sistem presidensial secara utuh.
Sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945, mekanisme pemberhentian presiden harus melalui usulan DPR. Usulan DPR pun masih harus diuji secara yudisial oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
”Di Indonesia, impeachment presiden tidak sederhana karena ada lembaga lain yang menguji pendapat DPR itu, yaitu MK,” ujar Asep.