JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akan membentuk unit akuntansi forensik. Dengan demikian, para penyidik akan memiliki kemampuan untuk memaksimalkan upaya pemulihan aset kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan periode 2016-2018 dengan obyek audit pendapatan, belanja, dan investasi pada Badan Usaha Milik Negara, ditemukan sebanyak 1.138 kasus terkait dengan aspek sistem pengendalian internal. Dari jumlah itu, sebanyak 678 kasus terkait kepatuhan terhadap perundangan dengan potensi kerugian negara Rp 14,47 triliun.
Data KPK menunjukkan, dari 2004-2018, tindak pidana korupsi berdasarkan profesi dari pihak swasta merupakan peringkat tertinggi kedua pelaku korupsi. Terdapat 238 orang yang melakukan korupsi.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan, sumber daya manusia yang ditempatkan di unit akuntansi forensik bertugas untuk melacak pemasukan dan pengeluaran dari korporasi. Dengan demikian, setiap transaksi dan aliran dana yang terjadi dapat terpantau.
”Akuntansi forensik ini penting agar KPK dapat lebih lancar dalam menangani kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan isu transaksional sehingga kami bisa menjamin pemulihan aset dari kerugian negara dapat lebih lancar,” kata Saut di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Saut menyampaikan paparan ini dalam diskusi media dengan tema ”Mencegah Korupsi di BUMN”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Peneliti Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas dan Peneliti Visi Integritas Danang Widoyoko.
Lebih lanjut, Saut menyampaikan, sejauh ini KPK telah mengirimkan beberapa pegawainya ke Serious Fraud Office (SFO) Inggris untuk mempelajari akuntansi forensik. Nantinya apabila sudah siap, akuntansi forensik akan ditempatkan dalam satu direktorat agar memilki kewenangan mengakses informasi yang lebih besar.
Senada dengan itu, Firdaus Ilyas mengatakan, KPK memang membutuhkan unit akuntansi forensik agar tidak terus bergantung pada auditor dari pihak lain. Penyidikan terkait aliran dana korupsi pun dapat menjadi lebih maksimal.
”Selama ini kalau mau tahu kerugian negara, KPK masih harus bertanya kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Tapi, kalau nantinya para penyidik punya kemampuan pemulihan aset, kemampuan audit forensik, KPK bisa menyiapkan materialnya secara mandiri,” kata Firdaus.
Sebab, dalam kasus korupsi, KPK harus lebih dapat mengaitkan pendekatan multipemidanaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Multipidana dalam hal ini tidak hanya klasik korupsi, tetapi termasuk pencucian uang bahkan lintas negara.
Danang Widoyoko menyampaikan, dalam menerapkan pencegahan korupsi di BUMN, harus ada transparansi kepada publik terkait keuangan BUMN. Dengan demikian, penggunaan dana bisa terpantau.
”BUMN itu harus transparan dan akuntabel, bukan hanya yang Tbk, tapi juga seluruhnya yang berjumlah 115 BUMN. Saya kira ini (keuangan BUMN) masih gelap maka harus dibuka sehingga ada sistem pengawasan yang dapat dilakukan,” kata Danang.