Larangan Eks Koruptor di Undang-undang Lebih Kokoh
Jika larangan eks koruptor maju di pemilihan kepala daerah hanya diatur dalam peraturan KPU, KPU khawatir nasibnya akan sama seperti larangan eks koruptor maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum KPU berharap larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dituangkan dalam undang-undang. Dengan diatur dalam undang-undang, KPU melihat dasar hukum pelarangan lebih kuat sehingga tertutup peluangnya dibatalkan pengadilan jika aturan digugat ke pengadilan.
”Kalau pemerintah dan DPR menyetujui gagasan ini, tentu KPU akan sangat berterima kasih. Ini akan membuat landasan hukum jadi lebih kokoh sehingga tidak ada peluang untuk dibatalkan sebagaimana yang pernah terjadi di Mahkamah Agung,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Thantowi, di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Pada 2018, KPU membuat aturan yang melarang mantan koruptor maju di Pemilu Legislatif 2019. Aturan itu masuk dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Namun, aturan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2020, KPU berpikir membuat aturan yang mirip. Namun, kali ini, calon kepala/wakil kepala daerah yang menjadi obyek. Dalam arti kata lain, calon kepala/wakil kepala daerah yang pernah dipidana karena kasus korupsi tidak boleh mencalonkan diri.
Ini berkaca pada penangkapan Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu. Tamzil, seperti diberitakan sebelumnya, merupakan eks narapidana korupsi yang memenangi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kudus Tahun 2018.
Meski berharap pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada untuk memasukkan larangan tersebut, Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya tetap berupaya untuk memasukkan larangan itu dalam peraturan KPU.
Namun, menurut dia, KPU akan lebih berhati-hati dan menguatkan dasar hukum larangan tersebut agar nantinya tidak kembali dibatalkan oleh pengadilan jika aturan larangan itu digugat ke pengadilan.
Perlu dikaji
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh mendukung larangan mantan napi korupsi maju di pilkada, apalagi setelah melihat kasus Bupati Kudus.
Namun, untuk memasukkannya ke dalam UU Pilkada, dia harus mengkajinya terlebih dulu bersama fraksi-fraksi lain di DPR.
Adapun terkait keinginan KPU memasukkan larangan itu di PKPU, Nihayatul mengingatkan agar aturan itu tidak bertentangan dengan aturan di UU Pilkada. Jika bertentangan, tak tertutup kemungkinan nasib larangan itu seperti nasib larangan mantan koruptor maju pada Pemilu 2019.
Menurut rencana, setelah masa reses DPR pada pertengahan Agustus mendatang, Komisi II DPR akan rapat bersama KPU dan pemerintah untuk membahas rancangan PKPU untuk Pilkada 2020. Jika memang ada larangan mantan koruptor maju di pilkada di antara salah satu rancangan PKPU, Komisi II bersama pemerintah bakal menyorotinya dan mengkajinya bersama-sama.
Seperti diketahui, setiap rancangan PKPU harus terlebih dulu dikomunikasikan dengan DPR dan pemerintah sebelum disahkan.
Selain memasukkan larangan tersebut ke dalam produk hukum, Nihayatul mengatakan, ada hal lain yang bisa mencegah mantan napi korupsi maju di pilkada. Hal itu adalah partai politik. Sebab, mayoritas calon kepala/wakil kepala daerah maju melalui partai politik.
Jika partai politik memiliki komitmen untuk menghadirkan calon berintegritas, tak akan ada lagi mantan napi korupsi di antara calon-calon pemimpin daerah di pilkada.