JAKARTA, KOMPAS — Panitia Khusus Angket DPR tentang Pelabuhan Indonesia atau Pelindo II tahap dua meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera menyelesaikan kasus dugaan korupsi PT Pelindo II yang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp 4,08 triliun. Hingga sekarang, KPK belum bisa menyebutkan nama-nama tersangka baru dalam kasus ini.
Dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang Ke V DPR RI, Ketua Pansus Angket Pelindo II Rieke Diah Pitaloka menyampaikan sejumlah rekomendasi hasil kinerja pansus yang telah berjalan selama kurang lebih tiga tahun. DPR menilai, kasus dugaan korupsi Pelindo telah menyebabkan kerugian negara sebesar 306 juta dollar AS, atau setara Rp 4,08 triliun (kurs 2 Juli 2015 Rp 13.3337,00 per dollar AS).
”Tanggal 6 Juni 2017 BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI telah menyerahkan hasil Audit Investigatif terhadap Perpanjangan Kerjasama PT JICT antara PT Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH). Hasil Audit Investigatif BPK RI menyatakan terdapat berbagai fakta penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 5 Agustus 2014,” tuturnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Pembentukan Pansus DPR ini dimulai sejak Oktober 2015 karena dilatarbelakangi temuan yang menyatakan terdapat indikasi praktik yang merugikan keuangan negara yang dilakukan PT Pelindo II dalam pengelolaan pelabuhan.
Hasil Audit Investigatif BPK RI menyatakan terdapat berbagai fakta penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 5 Agustus 2014.
”Oleh sebab itu, Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II meminta aparat penegak hukum, terutama KPK, untuk terus melanjutkan penyidikan kasus PT Pelindo II agar segera mengambil putusan hukum terhadap para pihak yang telah terbukti bersalah dan telah dinyatakan sebagai tersangka,” ujar Rieke.
Rieke mengatakan, perpanjangan kontrak JICT 2015-2038 antara PT Pelindo II dan HPH harus dibatalkan karena terindikasi kuat lebih menguntungkan pihak asing. Selain itu, ia mengatakan, berdasarkan audit BPK, terjadi sejumlah penyimpangan terhadap Pembangunan Terminal Petikemas Kalibaru Tahap I di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
”Pansus juga mendesak pemerintah untuk berani melakukan langkah-langkah dan upaya terhadap status kepemilikan PT JICT. Pansus mendukung Presiden untuk berani melakukan terobosan progresif mengembalikan tata kelola BUMN sesuai dengan mandat dan perintah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, khususnya di sektor kepelabuhanan,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati menyampaikan bahwa penyidik masih terus mendalami kasus Pelindo. Dengan begitu, KPK belum bisa menyebutkan nama-nama tersangka baru dalam kasus ini.
”Memang dibutuhkan pendalaman lebih lanjut dalam pemeriksaan ini. Saksi-saksi mungkin ada yang belum datang, permintaan keterangan, dan pencarian bukti yang dilakukan oleh penyidik belum sepenuhnya tuntas,” kata Yuyuk.
Sebelumnya, pada awal Juli 2019, KPK kembali melakukan pemeriksaan saksi untuk tersangka mantan Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino. Sekitar empat tahun lalu, Lino ditetapkan KPK sebagai tersangka dan dijerat Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Kitab Udang-undang Hukum Pidana Ayat 1 ke-1 dalam perkara ini.
Lino sempat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi ditolak hakim. Kasus dugaan korupsi ini berawal dari tiga QCC yang dibeli dari perusahaan asal China, Wuxi Huang Dong Heavy Machinery. Pembelian ini diduga dilakukan dengan penunjukan langsung, padahal mekanismenya semestinya melalui lelang. Tim penyidik telah meminta data dari otoritas setempat mengenai perusahaan terkait dan transaksi pembelian untuk memastikan harga unit yang dibeli tersebut.