Kemendagri Investigasi Motif Kepala Daerah Lindungi PNS Korupsi
Sembari menginvestigasi, pihaknya juga tengah menyiapkan sanksi untuk kepala daerah yang membangkang dari kewajiban memecat PNS terpidana korupsi. Salah satu alternatif sanksi adalah tidak melayani surat menyurat mereka.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri akan menginvestigasi motif kepala daerah yang masih melindungi aparatur sipil terpidana korupsi dengan belum juga memecatnya. Hasil investigasi itu akan menjadi dasar pemberian sanksi terhadap kepala daerah.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik di Jakarta, Rabu (17/7/2019), mengatakan, masih ada 203 pegawai negeri sipil (PNS) terpidana korupsi yang belum dipecat. Sebanyak 11 orang berada di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Ada pula 169 PNS di 66 kabupaten dan 23 PNS di 11 kota yang belum dipecat kepala daerahnya.
Akmal menambahkan, perkembangan pemecatan PNS terpidana korupsi belum signifikan. Pengurangan jumlah PNS tidak hanya disebabkan pemecatan, tetapi juga karena meninggal dunia.
Padahal, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah menegur 103 kepala daerah agar segera memecat PNS terpidana korupsi pada 1 Juli lalu. Kepala daerah diberi waktu 14 hari untuk memecat aparatur sipil terkait setelah surat diterima, rata-rata menerima pada 4 Juli.
“Kami akan menginvestigasi dan memetakan mengapa kepala daerah itu belum juga memecat ASN yang terlibat kasus korupsi,” kata Akmal.
Akmal mengatakan, sembari menginvestigasi, pihaknya juga tengah menyiapkan sanksi untuk kepala daerah yang membangkang dari kewajiban memecat PNS terpidana korupsi. Salah satu alternatif sanksi adalah tidak melayani surat menyurat mereka.
“Bentuk sanksi yang lain sedang kami rumuskan. Penetapan sanksi harus didasarkan pada motif penundaan pemecatan,” kata Akmal. Sanksi akan dijatuhkan setelah teguran kedua tidak diindahkan.
Menurut dia, sejumlah kepala daerah mungkin sengaja menunda pemecatan. Akan tetapi, ada pula mereka yang benar-benar terkendala.
Beberapa kepala daerah mengaku terkendala administrasi untuk memecat aparatur sipilnya. Mereka beralasan tidak memiliki data dari pengadilan setempat mengenai para terpidana korupsi.
Bebani anggaran
Secara terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan mengungkapkan, PNS terpidana korupsi harus segera dipecat karena mereka membebani anggaran negara. Akan tetapi, ia tidak bisa memprediksi beban tersebut karena penghitungan tersebut merupakan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam hal ini, kewenangan BKN terbatas pada pemblokiran data kepegawaian. Implikasi pemblokiran data kepegawaian di antaranya PNS sudah tidak bisa menerima kenaikan pangkat, mutasi, dan promosi. “Kami sudah memblokir data kepegawaian mereka,” ujar dia.
Ridwan menambahkan, PNS yang sudah dipecat tidak dengan hormat juga tidak akan menerima dana pensiun. Mereka hanya mendapatkan tunjangan hari tua yang merupakan simpanan wajib setiap PNS. Dana itu bersumber dari potongan wajib sebesar 9,25 persen dari gaji pokok per bulan.
Sebelumnya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengapresiasi teguran yang diberikan Mendagri kepada kepala daerah. Akan tetapi, kata dia, upaya tersebut perlu diikuri dengan pemberian sanksi berat terhadap kepala daerah yang masih resistan terhadap pemecatan.
Oce menjelaskan, merujuk pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah UU dan melawan putusan pengadilan dapat didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dan dijatuhi sanksi administratif berat. Pemberian sanksi itu diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) UU No 30/2014. Adapun sanksi itu terdiri dari pemberhentian tetap dengan/tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya, serta dapat dipublikasikan di media massa.
Terlalu toleran
Dasar hukum itu semakin kuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XVI/2018 tanggal 25 April 2019. Sebelumnya, sejumlah pihak menggugat Pasal 87 Ayat (4) Huruf b UU No 5/2014 yang merupakan dasar pemecatan PNS terpidana korupsi. Namun, MK menolak gugatan itu dan justru menguatkan konstitusionalitas pasal tersebut.
Menurut Oce, Kemendagri pusat berada pada posisi yang kuat. Kewenangan itu semestinya digunakan untuk memaksa kepala daerah menyegerakan pemecatan PNS terpidana korupsi.
”Kemendagri (saat ini) terlalu toleran. Semestinya sudah tidak ada lagi negosiasi. Mendagri harus memberikan perintah yang tegas kepada pejabat daerah dan menjatuhkan sanksi berat bagi mereka yang tidak mau memecat ASN terpidana korupsi,” kata Oce.
Ia menambahkan, jika dibiarkan berlarut-larut, persoalan ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. ”Seolah-olah ASN yang melakukan korupsi itu tetap diberikan keistimewaan,” ujar Oce.