Lagi, Perempuan Korban Pengantin Pesanan Pulang ke Tanah Air
Oleh
Sonya Hellen Sinombor dan Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Praktik perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China terus terkuak ke publik, menyusul pengakuan sejumlah perempuan asal Kalimantan Barat yang pulang ke Tanah Air. Setelah Ma (23) yang pulang akhir Juni 2019 lalu, kini menyusul dua korban lainnya IP (14) dan YM (28) yang kembali ke Indonesia, Sabtu (13/7/2019).
IP dan YM pulang ke Indonesia setelah dibelikan tiket oleh A warga China yang berperan sebagai “agen” yang mengawasi dan mengendalikan IP dan YM di China. Keduanya tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Jakarta, Tangerang, Sabtu malam pukul 20.10 WIB. Hingga kini, sudah 12 korban TPPO modus pengantin pesanan dari China yang pulang ke Tanah Air.
Kedua perempuan tersebut disambut Daniel Johan, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, Bobi Anwar Ma’arif, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Mahadir Ketua DPC SBMI Mempawah. Hadir juga Jandi Mukianto, dari Lembaga Bantuan Hukum Lentera Keadilan Rakyat (Lentara) yang diminta tolong secara lisan oleh A untuk menjemput kedua perempuan tersebut.
Lebih dari satu jam keduanya menceritakan apa yang dialami selama di China. Kecuali menerima uang mahar, mereka tidak pernah menjalani perkawinan resmi di China sebagaimana yang dijanjikan. YM dijanjikan mak comblang jika sampai di China tiap bulan bisa mengirimkan uang buat keluarganya, dan setelah enam bulan bisa pulang ke Indonesia. Kenyataannya dia justru disuruh bekerja dan mencari uang sendiri. “Saya pernah dicakar mertua sekali, kalau suami pernah memukul. Kalau mau lihat masih ada bekasnya,” kata YM.
Sementara IP yang saat berangkat ke China berusia 13 tahun menuturkan pernah dicekik oleh suaminya saat tidur. “Katanya becanda, tapi yang saya rasakan itu sakit,” katanya.
Kepada Daniel, IP dan YM meminta jangan ada lagi korban seperti mereka. Mereka juga minta tolong untuk membantu kepulangan dua perempuan lain yang masih di China. “Kalau lama-lama di sana, mereka terancam,” kata YM yang mengaku mengetahui dari mertuanya bahwa dirinya dibeli dari agen.
“Saya mau konfirmasi, mertuamu bilang bahwa kamu sebenarnya dibeli ke agen. Agennya dapat berapa ?” tanya Daniel yang langsung dijawab YM angkanya sekitar Rp 700 juta.
Tindak jaringan perdagangan orang
Menurut Daniel apa yang dialami oleh IP dan YM menunjukkan bagian perdagangan orang, karena mereka ke China melalui perantara dan dibayar. “Jangan-jangan perantara dapatnya banyak sekali. Sementara korban seperti yang diceritakan tak dapat apa-apa. Artinya mereka yang dieksploitasi,” ujarnya.
Jangan-jangan perantara dapatnya banyak sekali. Sementara korban seperti yang diceritakan tak dapat apa-apa. Artinya mereka yang dieksploitasi.
Karena itu yang terpenting adalah menindak jaringan perdagangan orang yang menjalankan modus pengantin pesanan, agar tidak berkembang. Masalah itu sudah disampaikan ke Komisi I DPR agar segera ditindaklanjuti dengan dialog sehingga bisa terungkap lebih jauh kasus itu. “Yang kita khawatirkan kalau misalkan ada korban yang kita enggak tahu,” kata Daniel.
Bobi Anwar Maarif menegaskan, apa yang dialami IP dan YM memenuhi unsur-unsur pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Modus yakni ada proses penerimaan, pendaftaran, hingga pemindahan ke luar negeri.
Selain itu, ada unsur penipuan, para korban diiming-imingi dengan kehidupan yang lebih layak, namun kenyataannya berbda. Ada unsur pemalsuan identitas, yakni usia IP dari 14 tahun dituakan menjadi 20 tahun. Ada unsur eksploitasi dan kekerasan, seperti dialami YM yang bekerja tapi tidak diupah, dan mengalami kekerasan batin dan fisik.
Adapun Jandi Mukianto menilai dari cerita kedua korban, tetap ada nuansa perasaan humanis layaknya suami istri. Apa yang terjadi dengan IP dan YM bukan terkait TPPO tetapi lebih pada permasalahan internal atau masalah keluarga.
“Kalau mereka bilang enggak ada perkawinan, tapi tinggal serumah. Buat saya walaupun ada transaksi sebetulnya ekonomi, karena mereka terus tanya uang. Itu yang perlu diselesaikan,” ujar Jandi yang sebelum bertemu IP dan YM menyatakan keduanya adalah contoh dari perempuan Indonesia menikah dengan laki-laki China yang berbahagia.
Namun setelah mendengar cerita dari kedua perempuan tersebut dia menyatakan mereka dalam keadaan pergi tidak bebas memilih pasangan, akhirnya mereka pergi ke China dengan berbagai modus. Misalnya visa turis yang kemudian menjadi lima tahun. Cerita mereka bekerja dan tidak mendapat uangnya. “Tapi mereka tidak seperti Ma,” ujarnya.