Pemerintah Perlu Terus Perkuat Masyarakat Inklusif
Momen pertemuan kedua tokoh tersebut dapat mempererat persaudaraan masyarakat yang selama ini terbelah baik secara sosial maupun politik. Seluruh elemen bangsa bisa bersatu kembali agar bisa bersama-sama menghadapi tantangan ke depan, terutama tantangan dalam bidang ekonomi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan dua tokoh bangsa, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, diapresiasi publik dan diharapkan bisa memantik semangat bersama untuk mengatasi polarisasi masyarakat. Pemerintah perlu membuat langkah lanjutan untuk terus memperkuat masyarakat yang inklusif dan memastikan pembelahan sosial karena kepentingan politik pragmatis tidak terjadi lagi.
Pengajar Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/7/2019), mengapresiasi pertemuan dua rival politik dalam Pemilu Presiden 2019 ini. Menurut dia, percakapan langsung yang terjadi hampir satu jam di gerbong Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta menunjukkan kenegarawanan Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Keduanya telah berinisiatif membuka ruang komunikasi yang sehat antar-sesama elite politik sekaligus menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Sikap itu dibutuhkan oleh masyarakat yang belakangan ini terbelah berdasarkan pilihan politik sejak Pemilu 2014, Pilkada Jakarta 2017, dan Pemilu 2019.
”Dalam jangka pendek, pertemuan itu bisa berkontribusi meredakan pembelahan sosial yang selama ini berlangsung,” ujar Airlangga.
Pemerintah juga harus lebih memperhatikan hal-hal mendasar dalam pengelolaan negara. Berbagai kebijakan dan kampanye pemerintah semestinya dapat merangkul semua kalangan masyarakat.
”Pemerintah perlu membangun komunikasi politik yang lebih terbuka, lebih inklusif. Selain itu, kebijakan pemerintah di periode mendatang perlu pula mengedepankan isu-isu demokrasi,” kata Airlangga.
Tanpa penanganan mendasar dan menyeluruh, menurut Airlangga, polarisasi masyarakat itu berpotensi muncul kembali. Sebab, pola itu sudah terbentuk dengan baik dan memiliki basis massa yang jelas. Keberadaan mereka rentan dimanfaatkan oleh elite politik yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024.
Sentimen pendukung
Dihubungi secara terpisah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman berpendapat, polarisasi sampai batas tertentu wajar terjadi dalam kontestasi politik. Meski demikian, elite politik bertanggung jawab untuk menjaganya agar tetap pada batas-batas yang wajar dan bisa dikendalikan.
”Jangan sampai elite politik larut bersama sentimen pendukungnya, bahkan mengeksploitasi sentimen tersebut. Jika (elite) sudah larut, niscaya (sentimen pendukung) sulit dikontrol dan diobati,” kata Sohibul.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno berharap, momentum pertemuan kedua tokoh itu dapat mempererat persaudaraan masyarakat yang selama ini terbelah baik secara sosial maupun politik. ”Kami berharap, seluruh elemen bangsa bisa bersatu kembali agar bisa bersama-sama menghadapi tantangan ke depan, terutama tantangan dalam bidang ekonomi,” ujarnya.
Koalisi
Selain membawa nuansa positif untuk membenahi pembelahan masyarakat, pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto juga mengindikasikan arah koalisi lima tahun ke depan. Menurut Airlangga, momen itu dapat menjadi sinyal politik transaksional yang akan memasukkan partai politik yang semula berseberangan pada Pemilu 2019 ke dalam pemerintahan.
Airlangga menambahkan, koalisi yang menyertakan semua partai politik tidak menjamin pemerintahan bisa berjalan dengan efektif. Koalisi yang gemuk justru berpotensi memperburuk kinerja pemerintah karena dapat mengalihkan konflik eksternal menjadi pertarungan kepentingan di dalam kekuasaan.
”Jika hal itu terjadi, presiden akan tersandera begitu banyak kepentingan kelompok yang meminta untuk diakomodasi dalam pengambilan kebijakan,” kata Airlangga.
Hal itu mungkin terjadi. Sebab, setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan hasil pemilu yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Koalisi Indonesia Adil Makmur pun dibubarkan. Lima partai politik yang ada di koalisi itu diperkenankan untuk menentukan arah politik masing-masing (Kompas, 29/6/2019).
Eddy mengatakan, setelah pemilu presiden selesai, PAN pun berkomitmen untuk mengurus dan membesarkan partai. Akan tetapi, ia belum mau menjelaskan arah politik partai ke depan. Menurut dia, hal itu akan diputuskan pascarapat kerja nasional yang akan digelar Agustus.
”Berada di dalam atau di luar pemerintahan sama terhormatnya, yang penting keberadaan PAN bermakna bagi masyarakat,” katanya.
Eddy enggan menjelaskan apakah sudah ada komunikasi dengan pihak pemenang pemilu agar partainya terlibat dalam pemerintahan. ”Hal yang jelas akan dilakukan, PAN akan bekerja sama dengan semua partai politik untuk membangun kerja sama yang produktif dan konstruktif di parlemen,” ujarnya.
Sikap serupa disampaikan Sohibul Iman. Ia mengatakan, PKS tidak akan terburu-buru menentukan sikap politik. Arah kebijakan partai akan ditentukan dalam musyawarah Majelis Syura yang akan digelar tahun ini. Namun, ia belum bisa menjelaskan waktu pelaksanaan momentum itu.
Meski demikian, ia menuturkan, demokrasi substantif harus terus hidup. Perbedaan pandangan termasuk oposisi adalah hal yang wajar ada dalam negara demokrasi, asalkan masih dibingkai dalam kerangka persatuan dan kesatuan. ”Oposisi juga (merupakan posisi yang) terhormat jika tidak dibingkai dalam kebencian dan permusuhan,” kata Sohibul.