Ombudsman: Petugas Pengawal Novanto Perlu Dicurigai
Petugas pengawal terpidana korupsi Setya Novanto bakal dijatuhkan sanksi karena lalai menjalankan tugasnya sehingga Novanto bisa bebas berkeliaran selama sekitar empat jam. Tak cukup hanya itu, Ombudsman mendorong agar ada investigasi untuk mengusut kemungkinan petugas disuap.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petugas pengawal terpidana korupsi Setya Novanto bakal dijatuhkan sanksi karena lalai menjalankan tugasnya sehingga Novanto bisa bebas berkeliaran selama sekitar empat jam. Tak cukup hanya itu, Ombudsman mendorong agar ada investigasi untuk mengusut kemungkinan petugas disuap.
”Pada Jumat (14/6/2019), Pak Setnov (Setya Novanto) pamitan kepada pengawal untuk menyelesaikan administrasi biaya rumah sakit. Namun, beliau meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan yang mengawal,” kata Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Junaedi saat ditemui di Kantor Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Novanto sempat menjalani rawat inap di Santosa Hospital Bandung Central (SHBC), Bandung, sejak Selasa (11/6/2019). Perawatan ini karena yang bersangkutan mengeluh sakit pada bahu kirinya.
Selama perawatan, Novanto dikawal dua petugas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, dan satu petugas dari kepolisian. Kemudian, pada Jumat (14/6/2019), Novanto yang dirawat di lantai 8 kamar nomor 851 hendak menyelesaikan pembayaran biaya rumah sakit.
”Saat itu, Pak Setnov (Setya Novanto) yang berada di kursi roda didorong oleh keluarganya sampai di lantai 3. Kira-kira 10 menit lalu pengawal mengecek, kok enggak ada. Ternyata beliau meninggalkan rumah sakit,” tutur Junaedi.
Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat Liberti Sitinjak menyampaikan, Novanto meninggalkan rumah sakit sekitar pukul 13.45 tanpa pengawalan. Kemudian kembali lagi ke rumah sakit pukul 17.45.
Atas tindakannya, Kanwil Kemenkumham Jabar memindahkan Novanto ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jabar, yang merupakan lapas risiko tinggi (high risk) berpengamanan maksimum.
”Petugas yang bertugas mengawal Pak Setnov dilakukan pemeriksaan oleh tim. Pemeriksaan ini untuk melihat kadar kelalaian mereka sampai mana yang nantinya juga akan mendapatkan sanksi,” kata Junaedi.
Selain itu, tim saat ini masih mendalami alasan Novanto meninggalkan rumah sakit.
Novanto juga masih menunggu hasil keputusan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dan program intervensi untuk memutuskan penempatan penahanan.
Petugas lalai
Anggota Ombudsman, Laode Ida, mendorong adanya sanksi atas kembali berulahnya Setya Novanto saat berada di tahanan.
”Kesalahannya adalah dari petugas yang membiarkan dia bebas, atau menjadikan dia tidak menjalankan seperti yang diperintahkan dalam surat jalan. Sanksi harus diberikan, mulai dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, kepala lapas, petugas ketertiban dan pengamanan lapas, hingga ke petugas yang mengawal,” kata Laode.
Khusus petugas pengawal yang lalai menjalankan tugasnya, perlu dicurigai adanya kemungkinan suap sehingga Novanto bisa kabur dari kawalan petugas.
”Petugas yang membiarkan Novanto pergi itu perlu dicurigai. Sebab, dia tahu bahwa tugasnya adalah mengamankan Setya Novanto, tetapi kenapa dilepaskan dari pengawalan?” tanya Laode.
Penegakan aturan hukum ini, menurut dia, harus berjalan bersama pembenahan tata kelola di tahanan.
Ini mengingat kasus serupa berulang kali terjadi. Sebagai contoh, terpidana kasus mafia pajak dan pencucian uang Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, yang juga sempat pelesir ke sejumlah tempat saat masa penahanan.
Pada November 2010, Gayus sempat tertangkap kamera berada di tengah penonton turnamen tenis di Nusa Dua, Bali. Saat itu statusnya masih sebagai terdakwa. Selanjutnya, pada 2015, saat sudah menjadi terpidana, ia kedapatan makan di restoran yang berada di luar Lapas Sukamiskin tempat ia ditahan (Kompas, 22 September 2015).
”Sebenarnya tujuan lapas ialah untuk membuat terpidana sadar. Dalam hal ini, koruptor seharusnya dimiskinkan sehingga ada efek jera. Kalau begini terus, para koruptor tidak akan kapok,” tegas Laode.