JAKARTA, KOMPAS – Serangan siber menjadi salah satu ancaman aktual bagi keamanan nasional. Namun, intervensi pemerintah dalam menanganinya sering gagal memuat materi legislasi untuk menjamin keamanan dan kebebasan sipil.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pun menawarkan pendekatan hak asasi manusia untuk mengintegrasikan kebijakan keamanan siber dan HAM.
Data dari IT Governance menunjukkan, pada rentang Januari hingga April 2019 setidaknya telah terjadi 1,7 miliar insiden kebocoran data pribadi dan serangan siber di seluruh dunia. Namun, merujuk laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Januari hingga Juni 2018 ada 143,4 juta serangan siber di Indonesia.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Selasa (28/5/2019), mengatakan, saat ini serangan siber telah menjadi salah satu ancaman aktual bagi keamanan nasional. Situasi ini mendorong intervensi pemerintah untuk turut serta secara aktif menangani ancaman serangan siber yang berdampak pada dunia nyata.
Contoh terbaru terjadi pada aksi demonstrasi di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta pada 21-22 Mei 2019. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto memutuskan membatasi sementara sejumlah fitur media sosial mulai Rabu (22/5/2019).
Pembatasan akses
Tindakan tersebut diambil untuk mempersempit ruang gerak konten hoaks yang dapat memprovokasi massa melalui media sosial. Pembatasan akses fitur media sosial kemudian berlangsung selama tiga hari.
Pemerintah tidak membatasi media sosial secara total. Pembatasan hanya berbentuk perlambatan saat mengunduh dan mengunggah video, foto, dan gambar di sejumlah media sosial. Akibat kebijakan ini, banyak masyarakat mengeluh kesulitan berkomunikasi termasuk mengirimkan gambar melalui WhatsApp.
Keputusan pemerintah tersebut memperlihatkan gagalnya integrasi hak asasi manusia (HAM) dalam perumusan kebijakan keamanan siber. Seringkali upaya untuk mewujudkan rasa aman telah memunculkan sebuah pertentangan antara keamanan siber dan HAM.
“Oleh karena itu dalam menyusun kebijakan keamanan siber, negara harus sepenuhnya selaras dan proporsional dengan perlindungan HAM, khususnya perlindungan kebebasan berekspresi dan hak atas privasi,” ujar Wahyudi dalam diskusi HAM dan Kebijakan Keamanan Siber di Jakarta.
Konsekuensinya, regulasi yang dirancang harus merujuk pada standar-standar HAM yang telah dijamin dalam berbagai perjanjian internasional. Tantangannya adalah mencari titik temu antara kebutuhan keamanan siber yang merujuk pada Resolusi 64/211 dengan keseluruhan instrumen internasional HAM.
Resolusi 64/211 tersebut mendorong agar negara-negara di dunia mengintegrasikan segala aspek kebijakan dunia maya dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM di dunia maya.
Menurut Wahyudi, keamanan siber dan HAM bersifat komplementer atau saling melengkapi. Maka dari itu, keduanya harus diupayakan bersama untuk secara efektif mempromosikan kebebasan dan keamanan.
“Mengakui keamanan individu adalah inti dari keamanan siber berarti pula bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia harus menjadi pusat pengembangan kebijakan keamanan siber,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subdirektorat Proteksi Keamanan Informasi Publik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Nur Iskandarsyah menyampaikan, banyak kegiatan produktif yang bisa dilakukan di ruang siber. Oleh sebab itu, mewujudkan ketahanan siber bertujuan untuk mencapai keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Terkait tawaran pendekatan HAM dalam kebijakan keamanan, Iskandar menyambut baik masukan itu. Ia menyatakan bakal mengkolaborasikan masukan itu untuk menjadi sebuah strategi keamanan siber yang lebih integratif.
“Pendekatan HAM itu sangat berkaitan dan berkorelasi, karena di ranah siber itu kita berkaitan dengan menjaga privasi orang lain juga di situ. Sehingga privasi adalah bagian dari HAM,” katanya.