JAKARTA, KOMPAS – Komisi Aparatur Sipil Negara menerima 128 laporan pelanggaran kode etik ASN yang tersebar di seluruh Indonesia selama masa Pemilihan Umum 2019. Masalah ini tak dapat dipandang sepele karena dapat berdampak langsung pada jenjang karier dari ASN yang dikenai sanksi.
Berdasarkan data Komisi ASN, dari Januari sampai Maret 2019, laporan pelanggaran netralitas ASN berjumlah 128 laporan. Terdapat lima provinsi yang paling banyak dilaporkan, yakni Sulawesi Selatan (30 laporan), Jawa Tengah (15 laporan), Sulawesi Tenggara (14 laporan), Sulawesi Barat (10 laporan), dan Jawa Timur (7 laporan).
Terdapat lima provinsi yang paling banyak dilaporkan, yakni Sulawesi Selatan (30 laporan), Jawa Tengah (15 laporan), Sulawesi Tenggara (14 laporan), Sulawesi Barat (10 laporan), dan Jawa Timur (7 laporan).
Dari 128 laporan tersebut, sebanyak 85 laporan sudah direkomendasikan oleh Komisi ASN kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) instansi untuk segera dikenai sanksi. Sedangkan, 42 laporan sedang diproses, dan satu kasus telah ditindaklanjuti PPK.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara Bidang Pengaduan dan Penyelidikan, I Made Suwandi, usai konferensi pers "Pemantauan Netralitas ASN pada Pemilu 2019", di Jakarta, Selasa (16/4/2019), mengatakan, kasus-kasus itu menunjukkan netralitas ASN masih bermasalah di Indonesia. Mereka tidak mengerti bahwa masalah yang menimpanya dapat berefek serius terhadap jenjang kariernya.
"Kebanyakan pelanggaran netralitas ada di sanksi sedang. Ini dampaknya luar biasa karena syarat seleksi terbuka adalah ASN tak pernah dikenai sanksi sedang dan berat. Jadi, tak bisa dianggap sepele," ujar Made.
Menurut catatan Komisi ASN, setidaknya 80 persen dari 85 laporan yang sudah diserahkan ke PPK merupakan pelanggaran sedang. Sementara itu, ada 1 kasus pelanggaran berat dan sisanya adalah pelanggaran ringan.
Pelanggaran ringan terjadi jika ASN tidak ada intensi datang ke tempat kampanye peserta pemilu. Pelanggaran sedang meliputi pemberian dukungan kepada peserta pemilu melalui media sosial. Sedangkan, pelanggaran berat terjadi jika ASN tersebut menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.
Made menjelaskan, tren laporan di Pemilu 2019 sebenarnya menurun dibandingkan Pilkada Serentak 2018 yang mencapai 508 kasus. Penurunan itu karena hasil Pemilu 2019 tak berdampak langsung pada sistem manajemen pegawai di daerah.
Namun, tak sedikit pula ASN yang tetap ikut berkampanye karena alasan takut dengan kepala daerahnya. "Kepala daerah, kan, masih berafiliasi dengan partai politik yang mana juga ada korelasinya dengan calon presiden yang diusung. Tak heran, kepala daerah nyuruh-nyuruh dia karena ada kepentingan meng-goal-kan pasangan calon itu," kata Made.
Tak sedikit pula ASN yang tetap ikut berkampanye karena alasan takut dengan kepala daerahnya.
Media sosial
Sementara itu, Pattiro, sebuah organisasi riset yang bergerak di bidang tata kelola pemerintahan, juga menyerahkan 67 laporan pelanggaran netralitas ASN kepada Komisi ASN.
Sebanyak 67 laporan tersebut terbagi menjadi 8 jenis pelanggaran, yakni ASN mengunggah, menanggapi, dan menyebarkan foto kandidat pemilu di media sosial (51 kasus); ASN terlibat dalam kampanye (4 kasus); ASN menghadiri deklarasi peserta pemilu (3 kasus); ASN mendeklarasikan dirinya sebagai pendukung peserta pemilu (3 kasus); dan ASN mengajak orang lain mendukung peserta pemilu (2 kasus).
Selain itu ada juga ASN menjadi pembicara di kegiatan kampanye (2 kasus); ASN memberikan fasilitas atau dukungan finansial dalam kegiatan kampanye (1 kasus); dan ASN memasang alat peraga kampanye (1 kasus).
Peneliti dari Pattiro, Nurjanah, mengatakan, dominasi pelanggaran netralitas ASN di media sosial terjadi karena ASN tersebut beranggapan hal itu tak mudah dilacak oleh Komisi ASN. Selain itu, banyak ASN tak paham kalau sudah ada regulasi yang melarang ASN ikut berkampanye di media sosial.
Regulasi yang dimaksud adalah Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas ASN pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
"Untuk pemantauan ini, kami mengacu pada regulasi, Surat Edaran Menpan. Kami sangat yakin seharusnya ASN paham itu karena sudah ada sosialisasi juga di semua kementerian dan lembaga," kata Nurjanah.
Nurjanah juga meminta PPK tegas dalam memberikan sanksi kepada ASN yang melanggar. Sebab, jika sanksi tak dijalankan, menurut dia, PPK bisa dikenai sanksi pula. Berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah bisa diberhentikan kalau melanggar sumpah janji dan tidak menegakkan peraturan per-undang-undang-an dalam hal ini UU 5/2014 tentang ASN.
"Jadi, tak boleh lagi ada unsur-unsur kedekatan, apalagi melindungi kesalahan ASN. Kalau begitu terus, kita hanya bermimpi untuk bisa memiliki ASN yang berintegritas dan profesional," tutur Nurjanah.