JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu perlu segera menggelar pertemuan untuk mengatasi potensi penyelenggaran kode etik. Khususnya untuk membahas permasalahan yang belum diatur peraturan perundang-undangan, seperti kriteria digelarnya pemungutan suara ulang.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, Sabtu (6/4/2019), mengatakan, pertemuan tripartit antara Bawaslu, KPU, dan DKPP perlu segera dilakukan karena ada beberapa potensi pelanggaran akibat kevakuman regulasi. Contohnya, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemilih yang telah mencoblos lebih dari sekali bukan menjadi salah satu kriteria digelarnya pemungutan suara ulang.
Padahal, dalam UU Pilkada, pemilih yang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali dapat menjadi kualifikasi untuk menggelar pemungutan suara ulang. Pasal 112 ayat 2 UU Pilkada menyatakan, pemilih yang sudah menggunakan hak pilih lebih dari satu kali baik di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sama maupun TPS yang berbeda dapat menjadi alasan dilakukannya pemungutan suara ulang.
Sementara itu, Pasal 372 ayat 2 UU Pemilu menyatakan, pemungutan suara hanya wajib diulang apabila salah satu dari empat kriteria terpenuhi. Kriteria pertama adalah proses pembukaan kotak suara, berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak sesuai dengan regulasi.
Kedua, petugas KPPS meminta pemilih untuk memberikan tanda khusus di surat suara. Ketiga, petugas KPPS merusak surat suara yang sudah digunakan; dan keempat, terdapat pemilih yang tidak memiliki KTP-el, tidak terdaftar di DPT maupun DP Tambahan.
Peraturan KPU No 9/2019 yang menjadi pedoman petugas di lapangan pun tidak mengatur persoalan ini secara lebih spesifik.
Dengan tidak diaturnya persoalan ini, lembaga penyelenggara pemilu akan lebih rentan dianggap melakukan pelanggaran kode etik. “Nah, kalau ada yang protes, apa yang bisa dilakukan? Maka dari itu, untuk sebuah kesepahaman maka diperlukan pertemuan tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk mengurangi potensi pelanggaran kode etik,” kata Abhan usai menghadiri pengukuhan Tim Pemeriksa Daerah DKPP di Jakarta.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, KPU pun berpandangan sama dengan Bawaslu terkait persoalan tersebut. Pertemuan tripartit perlu segera digelar untuk menyamakan persepsi antara para lembaga penyelenggara pemilu.
Peneliti Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas yang juga mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU dapat melengkapi PKPU dengan aturan yang lebih spesifik untuk mengantisipasi persoalan ini.
“Kalau ada orang yang memilih lebih dari satu kali dan penghitungan di TPS itu tetap digunakan, maka akan ada pihak yang akan diuntungkan sehingga pemilu tidak terlaksana secara adil,” kata Hadar.
Kalau ada orang yang memilih lebih dari satu kali dan penghitungan di TPS itu tetap digunakan, maka akan ada pihak yang akan diuntungkan sehingga pemilu tidak terlaksana secara adil.
Kekosongan regulasi lainnya yang dapat memicu pelanggaran kode etik, menurut Abhan, adalah mengenai kesalahan dalam pembagian surat suara bagi pemilih yang pindah memilih. Dalam Pemilu 2019 yang dilakukan serentak tersebut, warga yang pindah daerah pemilihab hanya akan mendapatkan surat suara pilpres. Kompleksitas menjadi meningkat bagi petugas KPPS dalam membagikan surat suara di hari pemungutan surat suara.
“Kalau misalnya KPPS menjadi kebingungan dan memberikan lima surat suara lengkap kepada seluruh pemilih termasuk pemilih yang pindah, bagaimana mekanisme koreksinya? Ini belum ada di undang-undang,” kata Abhan.
Kalau misalnya KPPS menjadi kebingungan dan memberikan lima surat suara lengkap kepada seluruh pemilih termasuk pemilih yang pindah, bagaimana mekanisme koreksinya? Ini belum ada di undang-undang.
Kepercayaan publik
Dengan waktu kurang dari dua pekan jelang pemungutan suara Pemilu 2019, segala pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu perlu dihindari. Integritas pemilu harus benar-benar dijaga karena dapat menjadi pemicu berlanjutnya pembangunan narasi delegitimasi proses pemilu yang sudah semakin menguat.
Ketua DKPP Harjono mengatakan koordinasi antar sesama lembaga penyelenggara pemilu menjadi penting untuk meningkatkan kapabilitas penyelenggara pemilu sehingga kepercayaan pemilu masyarakat terhadap proses pemilu dapat ditingkatkan. Hal ini penting di tengah upaya delegitimasi pemilu yang semakin terasa menguat.
“Memang KPU dan Bawaslu yang sering didelegitimasi. Tetapi kami penyelenggara pemilu itu ‘satu kapal’, berkomunikasi dan bersinergi itu menjadi cara untuk menjalankan tugas dengan baik,” kata Harjono.
Untuk itu, ia berharap kepada 204 anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP yang telah dikukuhkan untuk terus berkomunikasi dengan Bawaslu dan KPU di tingkat provinsi.
Arief menganjurkan setiap TPD di masing-masing provinsi untuk menggelar rapat bersama dengan Bawaslu dan KPU provinsi, seperti yang telah dilakukan oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP di tingkat pusat.
“Selain menjalankan fungsi persidangan, TPD sebaiknya juga bisa menjalankan fungsi mempertemukan Bawaslu dan KPU di daerah untuk berkonsultasi,” kata Arief.
TPD akan menjadi tangan DKPP di daerah untuk memastikan lembaga penyelenggara pemilu di tingkat provinsi tidak melanggar kode etik. Setiap TPD di seluruh 34 provinsi di Indonesia beranggotakan enam orang, yang terdiri dua orang dari unsur Bawaslu provinsi, dua orang dari KPU provinsi, dan dua orang dari unsur masyarakat.