Guru honorer yang tergabung dalam FHK21 Surabaya melakukan aksi damai menolak Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 dan No 37 Tahun 2018 di Halaman Gedung DPRD Kota Surabaya, Selasa (18/9/2018). Para guru honorer yang bertahun-tahun mengabdi tersebut menuntut untuk tetap bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara.
Honorer dan isu pengangkatan honorer menjadi pegawai negeri sipil sudah seperti sekeping mata uang. Mereka sudah muncul pada awal Orde Baru dan tidak pernah tuntas hingga kini meski sejumlah upaya telah diambil oleh pemerintah.
Di hadapan tim dari Komisi II DPR, Wali Kota Semarang Hadiyanto mengeluhkan masih ada honorer yang sudah bekerja 15 sampai 20 tahun di dinas-dinas di Pemkot Semarang, tetapi belum juga diangkat menjadi pegawai.
Awalnya mereka direkrut karena pemda kekurangan tenaga. Pasalnya, untuk merekrut pegawai baru, pemda terbentur peraturan yang melarang penerimaan dan pengangkatan pegawai.
Mereka pun dipekerjakan dengan status honorer yang pengangkatannya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) menunggu jika ada formasi. Namun, persoalan muncul saat formasi sudah tersedia. Sebagian dari mereka tidak lagi memenuhi syarat menjadi pegawai karena umurnya sudah melebihi syarat usia maksimal untuk menjadi pegawai.
Dikutip dari Kompas yang terbit 29 Oktober 1979, apa yang disampaikan Hadiyanto itu menunjukkan bahwa persoalan honorer sudah ada setidaknya sejak awal rezim Orde Baru berkuasa.
Kompas
Arsip Kompas yang terbit 29 Oktober 1979.
Hingga rezim berikutnya, dari pemerintahan ke pemerintahan, persoalan itu masih terus muncul. Hampir setiap tahun selalu terdengar tuntutan dari honorer agar diangkat menjadi PNS. Tidak jarang mereka menyampaikannya dengan berunjuk rasa. Alasannya sama. Telah lama mengabdi di pemerintahan sehingga mereka menilai layak menjadi PNS.
Di antara suara-suara tuntutan para honorer itu, instansi-instansi pemerintah masih terus merekrut honorer.
Bagaimana honorer direkrut? Tidak semuanya direkrut dengan melihat aspek kapasitas. Banyak di antaranya justru sarat dengan kolusi dan nepotisme. Mereka, misalnya, direkrut karena punya kedekatan dengan pejabat di instansi-instansi pemerintahan, pusat ataupun daerah.
Terlebih pascasistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung diterapkan pada 2004. Calon kepala/wakil kepala daerah menjanjikan orang-orang menjadi pegawai negeri sipil dengan syarat saat pilkada, pilihan dijatuhkan kepada calon. Ketika terpilih, kepala/wakil kepala daerah merealisasikan janjinya. Mereka direkrut menjadi honorer dengan janji satu saat menjadi pegawai negeri sipil.
”Itu yang akhirnya menjadi semakin banyak dan menjadi tak terkontrol,” ujar Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy.
Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Siti Zuhro, menyebutkan, pengangkatan honorer menjadi PNS dibuka kembali tahun 2005 setelah lama moratorium. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon PNS menjadi dasar hukumnya.
Namun, aturan menuai kontroversi. Pasalnya, honorer diangkat tanpa melalui tes. PP juga memberikan kelonggaran batas usia calon PNS, yang awalnya 35 tahun menjadi 46 tahun, sekalipun hal itu melanggar aturan di UU Kepegawaian.
Terlepas dari kontroversi itu, pengangkatan terus berjalan. Hingga tahun 2009, setidaknya ada 860.220 tenaga honorer yang diangkat menjadi calon PNS.
”Tahun 2010, pengangkatan honorer menjadi calon PNS berhenti atau moratorium,” kata Siti.
Moratorium mulai dibuka kembali pada 2013. Namun, kali ini harus melalui seleksi. Dari 648.462 tenaga honorer yang ikut tes, hanya ada 209.872 orang yang lulus. Sisanya, 438.590 orang dinyatakan tidak lulus.
Kompas
Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Siti Zuhro.
Sekalipun tidak lulus, para honorer kategori II yang penghasilannya dibiayai bukan dari APBN/APBD itu, masih bekerja di instansi-instansi pemerintah. Mereka pun tetap menuntut agar bisa diangkat menjadi PNS.
Persoalannya, pada 2014 saat pemerintah bersama DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), honorer tak diakui sebagai bagian dari ASN. Sebab kala UU dirumuskan, pemerintah dan DPR berasumsi permasalahan honorer sudah tuntas.
Di UU itu, untuk diketahui, ASN hanya terdiri atas PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).