JAKARTA, KOMPAS – Celah korupsi yang masih luas di birokrasi menunjukkan fungsi pengawasan internal pemerintah belum berjalan efektif selama ini. Permasalahan terjadi karena jumlah dan kapabilitas sumber daya aparat pengawas internal pemerintah masih sangat kurang. Jika semua itu tak segera dibenahi, maka reformasi birokrasi akan menjadi ancamannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, peran aparat pengawas intern pemerintah (APIP) sangat krusial dalam upaya pencegahan penyelewengan anggaran di birokrasi. Namun nyatanya, fungsi pengawasan itu belum berjalan optimal. Terbukti, kasus korupsi terus meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, dari tahun 2015 sampai 2018, setidaknya, ada 38 kasus yang dieksekusi KPK (2015), 81 kasus (2016), 83 kasus (2017), dan 113 kasus (2018).
"Kalau makin banyak yang ditangkap itu berarti pengawasan tidak berhasil. Tetapi, jangan juga membiarkan sehingga tidak ditindak, bahaya juga itu. Jadi, pengawas yang berhasil ya kalau kurang orang ditangkap," ujar Kalla saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah, di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Hadir pula sebagai pembicara dalam rakornas itu, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tumpak Haposan Simanjuntak, serta Staf Ahli Bidang Administrasi Negara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Hendro Witjaksono.
Dalam kesempatan itu, Kalla menyatakan bahwa tantangan APIP ke depan semakin kompleks. Objek pengawasan APIP semakin luas karena anggaran belanja terus bertambah.
Kalla menyebutkan, jika dibandingkan antara tahun 2010 dan 2019, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat hingga dua kali lipat. Pada 2010, anggaran belanja masih sebesar Rp1.126 triliun. Sedangkan tahun ini, pemerintah mengalokasi belanja negara sebesar Rp2.462,3 triliun.
Sementara itu, jalur penyaluran anggaran pun makin berkembang hingga ke tingkat desa dan kelurahan melalui dana desa dan dana kelurahan. Bahkan, lanjut Kalla, pemerintah tengah mengkaji adanya dana kecamatan.
"Artinya, APIP ini makin harus bekerja keras dan lebih pintar lagi pengawasannya karena makin luasnya obyek pengawasan tadi," tutur Kalla.
Tantangan lain
Selain itu, Sri Mulyani juga menambahkan, tantangan APIP semakin berat karena mayoritas APBN 2019 difokuskan pada peningkatan sumber daya manusia. Hasil penggunaan anggaran untuk membangun kualitas SDM, menurut Sri Mulyani, jauh lebih sulit diukur dibandingkan membangun infrastruktur.
Sebagai catatan, setidaknya 20 persen dari APBN 2019 atau sebesar Rp 500 triliun difokuskan pada pendidikan. Sementara itu, alokasi anggaran untuk kesehatan mencapai 5 persen atau Rp 124 triliun.
"Tantangan dari sisi akuntabilitas menjadi jauh lebih sulit dibandingkan kalau tantangan membangun fisik. Karena itu, pelaksana anggaran dan aparat pengawas harus betul-betul beri perhatian penuh mengenai kualitas belanja dan akuntabilitas terutama di area yang bukan belanja fisik," kata Sri Mulyani.
Kualitas APIP
Ardan Adiperdana pun mengungkapkan sejumlah persoalan yang membuat kinerja APIP selama ini belum efektif, yakni independensi APIP dan kapabilitas APIP yang masih tergolong rendah.
Independensi APIP belum terjaga karena statusnya yang berada di bawah kepala daerah. "Akibatnya, APIP ini jadi kurang berani, tidak independen. Penyimpangan atau masalah-masalah yang terkait dengan kepala daerahnya jadi terabaikan," ujar Ardan.
Terkait kapabilitas APIP, dari level 1 hingga 5, sebesar 87 persen APIP masih berada di level 2 dan level 3. Menurut Ardan, posisi itu masih tergolong belum optimal dalam upaya pengawasan tata kelola keuangan pemerintah.
"Kompetensi ini harus terus ditingkatkan sehingga hasil dari review (tinjauan) mereka bisa dipakai untuk pengambilan keputusan oleh pimpinan," kata Ardan.
Sementara itu, permasalahan lain juga disebutkan oleh Kemendagri, yakni kurangnya jumlah APIP secara nasional. Dari kebutuhan 26.000 Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD), hingga saat ini baru terisi 2.300 P2UPD. Kemudian, jumlah kebutuhan auditor yang seharusnya 46.560 juga baru terisi 12.755 auditor.
"Jadi, (kebutuhan di daerah) masih sangat kurang karena di daerah belum dipandang sebagai institusi prioritas. Padahal, kehadiran APIP ini sangat krusial dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Kalau APIP tidak kuat ya reformasi birokrasi itu sulit terwujud," tutur Tumpak Haposan.