Kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara Pemilu Harus Ditingkatkan
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil survei menunjukkan kepercayaan publik yang tinggi terhadap lembaga penyelenggara pemilu; Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Hal ini harus dipertahankan dan ditingkatkan dalam waktu sekitar sebulan sebelum hari pemungutan suara. Berbagai potensi permasalahan—seperti soal daftar pemilih dan penanganan laporan pelanggaran—harus ditangani secara maksimal agar legitimasi pemilu dan pemerintahan yang dihasilkannya kuat.
Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 24–31 Januari 2019 terhadap 1.426 responden dari seluruh Indonesia menunjukkan, 79 persen responden yakin bahwa KPU mampu menyelenggarakan pemilu sesuai dengan regulasi. Sebanyak 79 persen responden juga yakin, Bawaslu dapat mengawasi pemilu sesuai dengan aturan yang berlaku.
Meski demikian, hanya 56 persen responden yang tidak percaya terhadap isu KPU tidak netral. Sebanyak 13 persen responden percaya isu ini dan 32 persen responden tidak menjawab. Survei ini memiliki margin of error sebesar 2,65 persen. Padahal, kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu menjadi hal yang penting dalam proses demokrasi suatu negara.
Direktur Riset SMRC Deni Irvani, pada Minggu (10/3/2019) di Jakarta mengatakan, integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu yang tinggi tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan pemilu yang jujur dan adil, tetapi juga berfungsi untuk mengelola konflik di masyarakat.
“Kalau integritas peyelenggara pemilu rendah maka legitimasi hasil pemilu juga rendah. Kalau seperti itu, fondasi demokrasi dan pemerintahan lima tahun mendatang ini terancam berbahaya. (Konflik) ini harus dicegah,” kata Deni dalam acara Rilis Survei Nasional Pemilihan Presiden dan Integritas Penyelenggara Pemilu di Jakarta.
Survei tersebut juga menunjukkan persebaran opini responden terhadap isu-isu yang terkait dengan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Mengenai hoaks tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos di Tanjung Priok, Jakarta, survei SMRC menunjukkan bahwa 61 persen responden tidak mempercayai isu tersebut. Hanya ada 4 persen responden yang mempercayai dan sisanya tidak menjawab.
Meski demikian, ada sedikit ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Hal ini tercermin pada isu kotak suara kardus. Saat ditanya apakah pemakaian kotak suara berbahan karton mempermudah kecurangan pemilu, opini masyarakat terbelah. Sebanyak 34 persen masyarakat percaya, 36 persen tidak percaya, 30 persen sisanya tidak menjawab.
Peneliti senior Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang juga mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, ia merasa lega ternyata kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu tetap tinggi, meski diserang banyak isu yang bertujuan untuk mendelegitimasi pemilu dan hasilnya.
Namun, kata Hadar, besaran sekitar 11-13 persen responden yang tidak mempercayai KPU dan Bawaslu dapat menyelenggarakan dan mengawasi pemilu harus dipahami sebagai jumlah yang tidak sedikit. Angka 13 persen merujuk pada populasi sekitar 25 juta pada daftar pemilih tetap.
Untuk itu, Hadar berpesan, segala persoalan harus ditangani dengan baik. “Meski ada kerja yang baik dari lembaga penyelenggara pemilu, masih ada yang menuduh mereka tidak netral. Apalagi kalau kerjanya ada kekeliruan. Yang baik saja dituduh, apalagi kalau keliru,” kata Hadar.
Meski ada kerja yang baik dari lembaga penyelenggara pemilu, masih ada yang menuduh mereka tidak netral. Apalagi kalau kerjanya ada kekeliruan. Yang baik saja dituduh, apalagi kalau keliru.
Sejak kampanye dimulai pada akhir September tahun lalu, sudah beberapa isu yang muncul mempertanyakan kredibilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu, seperti kasus tujuh kontainer surat suara, puluhan juta data pemilih ganda, dan kotak suara kardus atau karton.
Hadar menyayangkan adanya isu yang menyerang karton sebagai bahan pembuatan kotak surat suara. Menurut Hadar, seharusnya fakta bahwa kotak surat suara berbahan dasar karton tidak dikait-kaitkan dengan masalah keamanan surat suara. Sebab, sistem pengamanan secara holistik memiliki pengaruh yang lebih besar dan harus menjadi perhatian.
“Sebagus apapun kotak surat suaranya, kalau tidak dipastikan dijaga di ruang yang aman itu ya bisa hilang juga. Jadi pemahaman keamanan surat suara itu pada sistem besarnya, bukan pada material kotaknya. Ini mungkin yang kurang disosialisasikan,” kata Hadar.
Mengenai survei kepercayaan publik ini, anggota KPU Hasyim Asyari memahami, kotak surat suara menjadi isu yang berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap KPU. Untuk itu, ia sudah menginstruksikan kepada KPU di daerah untuk benar-benar menjaga lokasi penyimpanan logistik di daerah yang aman dari hujan dan banjir.
“Sebetulnya dari segi material itu sudah dipertimbangkan (keamanannya). Bahwa kemudian ada hujan dan kena air, ini yang harus diupayakan agar tidak terkena hal semacam itu,” kata Hasyim.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan mengatakan bahwa pihaknya akan menganggap hasil temuan survei ini sebagai pelecut untuk meningkatkan kinerja pengawasan dan penindakan agar kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut dapat meningkat. Ia berharap, keberadaan petugas pengawas tempat pemungutan suara (PTPS) yang diterapkan mulai Pemilu 2019 diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik.
“Semoga dengan kehadiran pengawas di tingkat bawah ini, nantinya akan ada peningkatkan kepercayaan publik,” kata Abhan.