JAKARTA, KOMPAS – Pada hari pemungutan suara, untuk mengantisipasi politik uang sebelum dan sesudah pemungutan suara, Badan Pengawasan Pemilu melakukan patroli pengawasan yang bekerja sama dengan pihak kepolisian. Patroli itu diharapkan memperkecil risiko dilakukannya politik uang pada hari pemungutan suara.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, ada dua istilah umum yang dikenal dalam praktik politik uang pada hari pemungutan suara, yakni “prabayar” dan “pascabayar.” Politik uang “prabayar” artinya uang dibayarkan sebelum pemungutan suara dilakukan oleh pemilih. Adapan untuk politik uang “pascabayar” ialah politik uang yang dilakukn setelah pencoblosan dilakukan. Praktik “pascabayar” ini dilakukan dengan syarat pemilih bisa menyerahkan bukti pencoblosan terhadap calon tertentu, misalnya dengan bukti foto surat suara yang telah dicoblos.
“Belajar dari pengalaman Pilkada 2018, dua jenis praktik politik uang ini bisa diminamilisir dengan patroli pengawasan. Jadi anggota kami bersama dengan pengawas TPS akan berkeliling sekitar tempat tinggal pemilih dan menyosialisasikan laranagn politik uang ini. Tiga hari sebelum pemungutan suara, tim patroli akan berkeliling menyisir pemukiman warga. Sebab biasanya tiga hari menjelang pemungutan suara atau di hari tenang kerap ada upaya politik uang,” kata Ratna, Jumat (8/3/2019) di kantor Bawaslu, Jakarta.
Pengawas TPS terutama harus jeli dalam mengawasi penggunaan formulir C6 sebagai surat undangan memilih yang sah. Jangan sampai ada jual-beli formulir C6, karena surat undangan ini juga bisa menjadi salah satu celah bagi terjadinya kecurangan. “Pengawas TPS harus memastikan bahwa pemilih yang datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya adalah pemilik asli formulir C6. Ini juga merupakan salah satu cara mencegah politik uang prabayar,” kata Ratna.
Adapun untuk mencegah politik uang “pascabayar,” pengawas TPS diimbau untuk tidak memperbolehkan pemilih mendokumentasikan surat suara yang dicoblos. Penggunaan telepon pintar atau telepon seluler untuk memotret surat suara setela dicoblos oleh pemilih juga dilarang. Pelarangan itu dilakukan guna menghindarkan bukti foto itu disalahgunakan atau ditukar dengan sejumlah uang.
“Untuk praktiknya di lapangan, kami akan memberikan pelatihan bagi pengawas TPS,” kata Ratna.
Sementara itu, hingga 5 Maret 2019, Bawaslu menerima 6.289 temuan dan laporan. Dari jumlah itu, 485 kasus di antaranya adalah pelanggaran pidana, 4.695 kasus pelanggaran administrasi, dan 579 kasus bentuk pelanggaran lainnya. Bawaslu juga menemukan 165 pelanggaran netralitas aparat sipil negara (ASN) dari 15 provinsi. Khusus untuk politik uang, ada enam putusan. Putusan itu tersebar di Kepulauan Riau (1 putusan), Jakarta (3 putusan), Jawa Barat (1 putusan), dan Nusa Tenggara Barat (1 putusan).
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan, peserta pemilu harus bisa memisahkan antara kepentingan dirinya pribadi selaku peserta pemilu yang melakukan kampanye dan kepentingan negara. Penggunaan fasilitas negara untuk kampanye dilarang.
“Kami mensinyalir semakin tingginya penggunaan fasilitas negar dan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan kampanye. Bawaslu memberikan imbauan kepada peserta pemilu untuk membedakan antara kepentingan negara dan kampanye,” ujar Bagja.