Tenggat 31 Maret, Mayoritas Pejabat Belum Serahkan LHKPN
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sisa satu bulan menjelang tenggat waktu pelaporan harta kekayaan, 82,2 persen dari total pejabat wajib lapor sebanyak 329.142 orang, belum menunaikan kewajibannya. Paling banyak berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sekitar 92 persen dari total 524 anggota Dewan yang wajib lapor, belum menyerahkan laporan harta kekayaan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, di Jakarta, Senin (25/2/2019), mengatakan mekanisme yang ada saat ini seharusnya memudahkan penyelenggara negara dalam menyusun laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), dan menyerahkannya, sebelum tenggat waktu, tanggal 31 Maret, setiap tahunnya.
"Sekarang, pelaporan lewat online jauh lebih gampang. Laporan bisa disesuaikan, bahkan bisa dikoreksi setiap saat oleh wajib lapor, kalau misalkan ada tambahan pendapatan aset dari usaha lain," katanya.
"Sekarang juga lebih sederhana (karena) kalau dulu harus menyertakan dokumen asli, sekarang bisa discanning," tambahnya.
Terkait tingkat kepatuhan anggota DPR yang paling rendah dibandingkan penyelenggara negara lainnya, Laode berharap para anggota DPR menunjukkan komitmennya untuk mengikuti aturan di perundang-undangan.
Apalagi regulasi yang mewajibkan penyelenggara negara menyerahkan LHKPN, turut dibuat oleh DPR.
Kewajiban melaporkan harta kekayaan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Seperti diketahui, setiap UU disusun dan disahkan oleh DPR bersama dengan pemerintah.
Butuh waktu
Sekalipun penyusunan LHKPN dinilai mudah oleh KPK, Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Eriko Sotarduga menilai sebaliknya.
Dibutuhkan waktu lama untuk menyiapkan LHKPN. Salah satunya karena pelaporan setiap aset harus disertai dokumen yang valid.
"Contoh, bukti bangunan dan tanah harus ada NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), kalau saham harus dilampirkan nilai sahamnya. Kita tidak bisa laporkan aset dengan harga pasaran atau perkiraan, misalkan kita punya barang warisan orangtua, aset yang hibah atau masih girik," katanya.
Hal lain, sejumlah anggota DPR mengeluhkan sikap pegawai di KPK yang justru kerap mencurigai anggota DPR saat hendak konsultasi penyusunan LHKPN.
"Pengalaman beberapa teman ketika konsultasi, mereka ditanyai ini itu, terlebih ketika asetnya besar. Orang ingin melaporkan apa adanya malah dijadikan polemik. Jadi ragu mau melapor," tambahnya. (ERIKA KURNIA)