JAKARTA, KOMPAS - Pemecatan terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana korupsi berjalan lamban karena penerapan aturan yang lemah oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat perlu menguatkan pengawasan dan penegakan aturan, bahkan jika dibutuhkan mengambil alih pemecatan aparatur sipil negara terpidana korupsi.
Pertengahan September 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menpan RB Syafruddin serta Kepala BKN telah meneken surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi dengan batas waktu akhir 2018. Data BKN hingga 21 Februari 2019, baru 572 orang yang diberhentikan tidak hormat. Masih ada 1.785 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan dan mayoritas ASN di pemerintah daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng, di Jakarta, Jumat (22/2/2019) mengatakan, pemecatan ASN terpidana korupsi lamban karena penerapan aturan yang lemah. Aturan tidak dibarengi dengan pemantauan, penegakan, dan pemberian peringatan secara terus-menerus dari pemerintah pusat. Pejabat pembina kepegawaian atau PPK cenderung tidak menjalankan aturan dengan banyak alasan. Seharusnya, PPK dipanggil dan diberikan teguran.
"Manajemen kebijakan lemah karena ada asumsi bahwa aturan secara otomatis diterapkan di daerah. Itu jauh sekali dari kenyataan. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur wewenang mendagri untuk mengatasi lambannya pemecatan ASN terpidana korupsi," ucap Robert.
Pasal 67 dan 68 UU Pemerintah Daerah mengatur kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap oleh menteri untuk gubernur atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati atau wakil bupati dan wali kota atau wakil wali kota.
"UU Pemerintah Daerah dibiarkan jadi kertas saja atau diterapkan. Kalaupun dikeluarkan aturan menteri, harus cepat dan jelas panduan operasionalnya. Bila perlu, pemberhentian ASN dilakukan sejak status tersangka," katanya.
Aturan baru
Pemecatan terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana korupsi berjalan lambat karena keengganan pejabat pembina kepegawaian atau PPK mengeluarkan surat pemberhentian. Agar tak berlarut-larut, pemerintah segera mengeluarkan dua aturan menteri terkait teknis pemecatan aparatur bermasalah itu serta sanksi bagi PPK yang tak taat.
Aturan teknis pemecatan ASN terpidana korupsi berbentuk peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) yang berisi pemecatan terhitung mulai tanggal surat keputusan, tidak adanya klausul ganti rugi gaji yang telah dibayarkan kepada ASN terpidana korupsi, serta tenggat waktu baru pemecatan, yakni 31 Maret 2019. Juga Permendagri yang berisi sistem pemecatan sekretaris daerah dan sanksi bagi PPK yang lalai. PPK meliputi kepala daerah, kepala lembaga, dan menteri.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menjelaskan, ASN terpidana korupsi sudah menumpuk dan kemendagri bisa mengambil alih pemecatan menggantikan PPK yang lamban. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Bisa jadi landasan. Walaupun ada aturan menteri yang baru harus tetap mengacu pada dua PP dan dibuat aturan teknis.
"Persoalan di lapangan, PPK punya alasan atau pertimbangan sehingga ragu-ragu dan lamban. Proses administrasi pemberhentian ASN terpidana korupsi jadi tersendat. Pemerintah pusat bisa mengambil alih untuk mempercepat proses pemberhentian," ucap Oce.
Pemerintah pusat dapat sekaligus mengambil alih pemberhentian ASN terpidana korupsi dari daerah. Lamban dan kelalaian bisa jadi alasan pemerintah pusat dalam mengambil alih pemberhentian tersebut. Pemerintah pusat bekerja lebih cepat karena dapat sekaligus memberhentikan ASN pusat dan daerah.(FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)