KPK Tetapkan Tersangka Baru Penyuap Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada Mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih. Penetapan status ini merupakan pengembangan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan status penanganan perkara tersebut ke penyidikan sejak 1 Februari 2019. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengumumkan hal ini Jumat (15/2/2019) sore, di Kantor KPK, Jakarta.
"Dalam proses pengembangan penyidikan sebelumnya dan fakta-fakta yang muncul di persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Tindakan itu berupa pemberian hadiah atau janji terkait proses pengurusan pemutusan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambagan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," jelas Laode.
Sebelumnya, Samin Tan diketahui memberi gratifikasi sebesar Rp 5 miliar kepada Eni, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan di Komisi DPR bidang energi, riset, dan teknologi. Dalam persidangan, uang itu disebutkan diberikan ke Eni dengan maksud mengurus pemutusan atas PKP2B PT AKT oleh Kementerian ESDM. PT AKT diduga sudah diakusisi PT BLEM yang dimiliki tersangka.
Atas perbuatan tersebut, ia disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Pasal itu mengatur pemberian suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan tujuan menggerakkan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya.
"Mengapa pemberi gratifikasi bisa dijerat pasal suap? Selain karena kita tidak punya ketentuan mengenai pemberi gratifikasi, kalau pemberi gratifikasi itu memenuhi unsur-unsur pelanggaran dalam pasal pemberi suap, maka itu bisa dikenakan," Febri menambahkan.
Penetapan status tersangka dengan penerapan pasal serupa bukan yang pertama kali dilakukan KPK. Pasal serupa pernah dikenakan kepada Alif Kuncoro, yang dibui karena memberi suap dalam kasus Gayus Tambunan 2010 silam.
Kemudian, kepada mantan Bupati Tanggamus, Lampung, Bambang Kurniawan yang menyuap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Tanggamus, terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016.
Berawal dari OTT
Pengembangan perkara ini berawal ketika KPK melakukan kegiatan tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 13 Juli 2018. KPK langsung menetapkan status tersangka pada Eni Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham perusahaan Blackgold Natural Resources Limited, yang diamankan bersama uang sebesar Rp 500 juta.
Uang itu adalah bagian tahap pemberian suap yang diduga mencapai Rp 4,8 miliar. Suap itu diduga diberikan terkait penandatanganan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 atau PLTU Mulut Tambang Riau 1 (2 x 300 mega watt) di Provinsi Riau.
Dalam proses pengembangan perkara, Eni didakwa bersama mantan Menteri Sosial Idrus Marham menerima suap dari Kotjo secara bertahap dengan total sebesar Rp 2,25 miliar. Uang tersebut diberikan agar Kotjo dapat mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau 1.
Idrus, yang saat itu menjadi penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, juga mengarahkan Eni untuk meminta uang sebesar Rp 2,5 juta dollar AS kepada Kotjo. Idrus juga meminta kepada Kotjo supaya membantu Eni, guna keperluan suaminya yang mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Temanggung, Jawa Tengah, tahun 2018.
Baik Eni, Idrus, dan Korup sudah melalui proses persidangan. Kotjo telah divonis bersalah sebagai pemberi suap dan dijatuhi hukuman 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Hukuman dinaikkan di tingkat banding menjadi 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta. Sementara itu, Idrus didakwa menerima suap sebesar Rp 2,25 miliar dari Kotjo secara bertahap.
Pada Rabu (6/2/2019), Eni juga telah menjalani sidang tuntutan dan ia dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Ia diyakini menerima suap Rp 4,75 miliar dari Kotjo. Ia juga diyakini jaksa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40 ribu dollar Singapura dari sejumlah pengusaha di bidang migas, termasuk Samin Tan.
Eni lantas dituntut membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar Singapura, serta dicabut hak politiknya dalam jabatan publik selama lima tahun. (ERIKA KURNIA)