Migrasi Ideologis Pemilih Jawa Tengah (2)

Konvoi kampanye Golkar pada Pemilu 1982, di Jakarta, pada 30 April 1982. Pemilu kali ini menandai penguatan kekuatan politik Golkar pascafusi parpol 1973 di lansekap politik Indonesia. Hingga satu dekade berikutnya, kemenangan mayoritas suara pemilih dalam pemilu senantiasa diraih partai beringin ini.
Metode pemerintah mengikis pengaruh PNI efektif dalam menggeser preferensi pemilih Jateng dari PDI kepada Golkar. Hasilnya, selama pemilu Orde Baru dari tahun 1977 hingga 1997, Golkar selalu mencatat kemenangan mutlak di Jateng. Pemilu 1977 menjadi tonggak bersejarah keperkasaan Golkar di Jateng, setelah organisasi peserta pemilu bentukan Orde Baru ini berhasil menaklukkan semua basis kemenangan PNI.
Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, Sragen, dan Karanganyar yang menjadi basis kekuatan PNI pada Pemilu 1971 berhasil dikuasai oleh Golkar pada Pemilu 1977. Dalam waktu 5 tahun pemerintah Orde Baru berhasil \'menguningkan\' 18 daerah yang menjadi basis PNI pada Pemilu 1955. Kemenangan ini sekaligus memarjinalkan pengaruh nasionalisme-marhaenisme yang memiliki pengikut terbesar di Jateng.
Metode pemerintah mengikis pengaruh PNI efektif dalam menggeser preferensi pemilih Jateng dari PDI kepada Golkar.
Sejarah lalu mencatat, hingga Pemilu 1997 kekuatan PNI yang terhimpun dalam PDI tidak pernah berhasil mengonsolidasi kekuatan politik untuk menggeser hegemoni Golkar tersebut. Soliditas partai ini selalu direcoki oleh pemerintah dari kepengurusan tingkat nasional hingga wilayah, dalam rangka mempertajam friksi antarkelompok yang memicu konflik internal secara terus-menerus. Energi partai lebih banyak terkuras untuk memadamkan konflik internal ketimbang konsolidasi politik untuk mengembalikan kejayaan pengaruh nasionalisme di Jateng.

Tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) Ny Supeni (tengah) di Jakarta Selatan, Kamis (15 Januari 1998), membacakan Pernyataan Bersama mengenai keprihatinan terhadap situasi politik di Indonesia saat itu, diapit Megawati Soekarnoputri (kiri) dan Amien Rais. Hadir pula pada acara itu antara lain mantan gubernur DKI Ali Sadikin, Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa.
Selain menyapu bersih basis PNI, rezim Orde Baru melalui jaringan kekuasaannya di seluruh Jateng juga sukses menggeser pengaruh Islam tradisional yang direpresentasikan melalui Partai NU. Meski kecil, kekuatan NU memiliki pengaruh yang cukup dalam bagi masyarakat Islam di Jateng, terutama di daerah yang menjadi basis Islam tradisional berbasis pesantren.
Tiga kabupaten yang bertetangga di pantura bagian timur, yaitu Demak, Kudus, dan Jepara merupakan basis NU pada Pemilu 1955. Selain ketiga kabupaten ini Kabupaten Magelang yang berada di sebelah selatan juga menjadi basis kemenangan NU pada pemilu pertama di Indonesia ini. Konfigurasi kemenangan NU di keempat kabupaten ini berubah drastis ketika rezim Orde Baru menyelenggarakan pemilu pertama pada masa kekuasaannya tahun 1971.
Baca pula: Migrasi Ideologi pemilih Jawa Tengah (1)
Dalam pemilu ini Golkar berhasil menggeser dominasi NU di Demak, Kudus, dan Jepara. Sementara di Magelang, NU tetap menjadi pemenang mengungguli Golkar yang hendak diorbitkan Orde Baru sebagai pemenang. Dalam perjalanan sejarah, Kudus dan Jepara berhasil dikooptasi oleh rezim dengan menjadikan kedua kabupaten yang menjadi basis Islam tradisional di Jateng ini sebagai basis Golkar hingga pemilu 1997.

Massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melimpah memadati jalur sepanjang Jl sudirman, S. Parman, Gatot Subroto, MT Haryono hingga perempatan Cililitan, Halim Jumat (23/04/1982). Hujan lebat bukan halangan bagi para simpatisan PPP untuk menggelar pawai pada putaran terakhir kampanye. Pawai kampanye itu berlangsung tertib.
Demak dan Magelang memiliki keunikan dalam menghadapi manuver pemerintah dan organ Golkar untuk menanamkan pengaruh partai penguasa ini. Pemilu 1977 dan 1982 memperlihatkan bangkitnya kekuatan Islam menghadang laju serangan Golkar di Demak. PPP yang mewakili aspirasi umat Islam ternyata mampu menahan kemenangan Golkar setelah berhasil menang selama dua periode pemilu. Pada Pemilu 1987 kekuatan PPP berhasil dipreteli setelah unsur NU melancarkan penggembosan terhadap PPP pasca ikrar kembali ke Khittah 1926. Sejak saat itu Demak menjadi wilayah Golkar hingga Pemilu 1997.
Demak dan Magelang memiliki keunikan dalam menghadapi manuver pemerintah dan Golkar.
Magelang yang sudah dikenal sebagai basis NU ternyata konsisten memenangkan PPP pada Pemilu 1977 dan 1982. Keberhasilan NU mengungguli Golkar di sini menunjukkan kuatnya pengaruh Islam tradisional terhadap masyarakat Magelang. Sama seperti Demak, kekuatan PPP merosot drastis pada Pemilu 1987 sebagai ekses dari Khittah 1926 yang memberi kebebasan kepada warga NU untuk memilih partai apa saja selain PPP. Jatuhnya Magelang – dan Demak -- ke tangan Golkar pada Pemilu 1987 ini menandai runtuhnya kekuatan Islam di bawah hegemoni Golkar.
Basis Islam di kedua kabupaten ini berbeda dengan konsolidasi kekuatan Islam di tiga wilayah yang berada di bagian barat Jateng, yaitu Kabupaten Pekalongan, Tegal, dan Kota Pekalongan. Ketiga daerah ini pada masa Orde Baru dikenal sebagai basis kekuatan Islam yang militan meskipun sejarah politiknya menunjukkan, ketiganya merupakan basis nasionalisme ketika Pemilu 1955. Kabupaten Pekalongan dan Tegal menjadi basis kekuatan PNI di bagian barat Jateng.
Di Pemilu 1971, kedua kabupaten ini ditambah dengan Kota Pekalongan, berubah total menjadi basis NU. Pemilu 1977 Kabupaten Pekalongan menjadi basis Golkar, yang disusul Kabupaten Tegal pada Pemilu 1982. Hingga Pemilu 1997 kedua daerah ini menjadi basis Golkar di bagian barat Jateng. Sementara Kota Pekalongan tetap konsisten memenangkan partai Islam, yaitu NU dan PPP.

Pemimpin Umum PDI, Drs Soerjadi mengadakan kampanye di Semarang Jawa Tengah, suatu hari di Tahun 1987.
Hanya di Pemilu 1987 Golkar bisa menggeser kekuatan PPP di kota batik ini. Selanjutnya, pada Pemilu 1992 dan 1997 PPP menang kembali sekaligus menggeser kedudukan Golkar sebagai pemenang sebelumnya. Dengan kata lain, hegemoni Golkar secara riil hanya terjadi pada Pemilu 1987 yang ditandai dengan kemenangan secara menyeluruh di Jateng.
Dua pemilu berikutnya – 1992 dan 1997 -- Golkar selalu mencatat kemenangan mutlak secara mulus karena lawan politiknya, yaitu PPP dan PDI sudah sepenuhnya berada di bawah kendali penguasa. Namun, Kota Pekalongan tetap menjadi duri yang telah menghalangi ambisi Golkar untuk mendominasi Jateng secara total. PPP adalah satu-satunya partai yang berhasil menantang kekuatan Golkar yang didukung sepenuhnya oleh Orde Baru dan seluruh jaringan kekuasaannya yang ada di Jateng.
Perubahan Peta Politik
Tahun 1998 merupakan awal reformasi yang menjadi masa transisi dengan perubahan peta politik secara drastis terutama dalam sistem pemilu dan kepartaian. PDI yang popularitasnya mulai menanjak pasca-Pemilu 1997 berubah menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan rezim yang otoriter. Megawati Soekarnoputri yang sudah digadang-gadang sebagai pemimpin wong cilik pun mendadak memperoleh simpati dari rakyat.
PDI yang popularitasnya mulai menanjak pasca-Pemilu 1997 berubah menjadi simbol perlawanan.
Ketika BJ Habibie menggantikan Soeharto yang lengser pada Mei 1998 langsung mereformasi sistem pemilu dan kepartaian dari model Orde Baru ke sistem multipartai. Unsur-unsur fusi yang berada di PPP dan PDI keluar dari induk mereka kemudian membentuk partai sendiri. Akibatnya, lebih dari 100 partai yang terbentuk saat itu. Namun, KPU hanya meloloskan 48 partai untuk menjadi peserta Pemilu 1999.

Puluhan mahasiswa bekerja bergantian 24 jam non-stop memasukkan data jumlah suara per kecamatan pada penghitungan suara Pemilu 1999 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Jumat, 11 Juni 1999.
Di bawah regulasi politik yang baru inilah PDI mereformasi diri dengan mengubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI Perjuangan (PDIP) dengan logo banteng moncong putih dalam lingkaran. Unsur fusi PDI yang lain kemudian membentuk partainya masing-masing, seperti Murba, IPKI, dan Parkindo. PNI yang menjadi induk partai ini berubah menjadi beberapa partai dengan nama PNI dan logo banteng ala PNI 1927 yang dibentuk oleh Ir Soekarno.
PPP juga mengalami perubahan organisasi yang ditandai dengan pecahnya partai ini ke menjadi beberapa partai Islam mengikuti induk ormas yang difusi tahun 1973. PPP sendiri tetap ada dan menaungi unsur-unsur fusi yang tetap setia kepada partai. Unsur NU kemudian mendirikan PKB dan beberapa partai Islam berhaluan tradisional. Parmusi juga mendirikan partai sendiri. Sementara komponen Islam modern mendirikan Partai Keadilan dan PAN.
Pemilu 1999 berlangsung dalam suasana hingar bingar politik di mana rakyat memperoleh kebebasan mutlak untuk memilih satu dari 48 parpol peserta pemilu. Pemilu pertama dalam masa reformasi ini juga ditandai dengan euphoria dukungan kepada PDIP dan Megawati di satu sisi, sementara di sisi lain kebencian terhadap Golkar juga meningkat.
Suasana ini sangat terlihat di Jateng yang sejak Pemilu 1997 sudah memperlihatkan tanda-tanda perlawanan kepada rezim Orde Baru melalui gerakan Mega Bintang. Kehadiran PDIP dan Megawati di pentas politik nasional membawa dampak yang luar biasa terhadap perubahan politik di tingkat akar rumput Jateng. Dukungan kepada Megawati dan PDIP langsung meningkat drastis karena sosok sang Ketua Umum ini dianggap merepresentasikan perjuangan kelas bawah yang menjadi mayoritas penduduk Jateng.

Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan sambutannya ketika membuka Kongres I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang berlangsung di Pusat Rekreasi dan Pameran Pembangunan (PRPP), Semarang, Jawa Tengah, Senin, 27 Maret 2000.
Pemilu 1999 mengubah lanskap politik Jateng secara drastis, dari basis Golkar menjadi basis PDIP. Golkar yang pada Pemilu 1997 menguasai 34 kabupaten/kota mengalamai kekalahan total pada Pemilu 1999. PDI yang selalu dipecundangi Golkar sejak Pemilu 1971 mengambilalih semua daerah basis Golkar di bawah bendera baru dengan nama PDIP. Dari 35 kabupaten/kota, PDIP menguasai 33 daerah, sisanya dimenangkan oleh PKB di Kabupaten Magelang dan PPP di Kabupaten Jepara.
Pemilu 1999 mengubah lanskap politik Jateng secara drastis, dari basis Golkar menjadi basis PDIP.
Kemenangan PDIP ini kemudian diasosiasikan sebagai kebangkitan kembali ideologi nasionalisme PNI yang bereinkarnasi di dalam semangat partai yang dipimpin oleh putri Presiden RI Pertama Ir Soekarno. Popularitas PDIP di Jateng ini menggambarkan kerinduan masyarakat Jateng akan hadirnya seorang ratu adil yang bisa membebaskan mereka dari cengkeraman rezim Orde Baru yang otoriter. Megawati yang diorbitkan sebagai pemimpin yang lahir dari wong cilik langsung disambut seperti ratu adil yang diimpikan selama ini.
Sosok Megawati juga dihormati oleh masyarakat Jateng sebagai anak Soekarno, pendiri PNI tahun 1927. Soekarno merupakan sosok yang sangat dihormati oleh warga Jateng meskipun mereka sendiri tidak pernah bertemu dengan Presiden pertama RI ini. PDIP yang dipimpin oleh Megawati ini pun diyakini sebagai titisan PNI karena garis perjuangan partai ini tetap membawa semangat Marhaenisme, gagasan utama Soekarno yang diperjuangkan melalui PNI.
Harapan datangnya sosok ratu adil yang sudah mengakar dalam kultur masyarakat Jawa dipadu dengan kekaguman terhadap sosok Soekarno yang berpihak kepada masyakat kecil membuat ikatan masyarakat Jateng dengan PDIP langsung menguat. Ikatan inilah yang membuat PDIP selalu unggul di Jateng meskipun secara nasional kekuatan partai ini fluktuaitf. Meski tidak mendominasi secara total seperti Pemilu 1999, kemenangan PDIP dari Pemilu 2004-2014 selalu menempatkan PDIP sebagai partai terkuat di Jateng.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang juga adalah Wakil Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, dalam Kongres I PDI-P di Semarang, Minggu malam, 26 Maret 2000.
Basis Nasionalisme
Kedudukan PDIP yang begitu kuat sejak Pemilu 1999 hingga 2014 telah memantapkan Jateng sebagai basis nasionalisme di Pulau Jawa. Karakter politik ini bisa diukur dari konsistensi kemenangan PDIP di tengah perubahan spektrum politik yang dinamis. Spektrum politik ini terlihat dari jumlah parpol peserta pemilu yang selalu berubah-ubah mengikuti regulasi negara.
Pada Pemilu 2004 PDIP unggul di Jateng meski jumlah daerah yang dimenangi menyusut. Dari 33 daerah yang dimenangi, PDIP hanya mampu mempertahankan kemenangan di 25 kabupaten/kota pada Pemilu 2004. Delapan daerah lainnya jatuh ke tangan Golkar, yaitu di Kabupaten Rembang, Banjarnegara, Temanggung, Karanganyar, dan Kota Salatiga. Partai lain yang bisa mengambil daerah PDIP adalah PKB, yaitu di Kabupaten Tegal, Pekalongan, dan Kudus.
Pemilu 2009 kembali menobatkan PDIP sebagai pemenang di Jateng dengan jumlah kemenangan yang terus menyusut. Pemilu kali ini PDIP berhasil menang di 23 daerah. Kehilangan ini tidak berdampak terhadap pelemahan PDIP karena, di sisi lain PDIP berhasil merebut kembali basisnya dari Golkar dan PKB.
Kabupaten Semarang, Demak, Kota Semarang, dan Kota Magelang yang menjadi basis PDIP pada Pemilu 2004, berhasil diambil alih oleh Partai Demokrat. Sementara itu, basis PDIP di Kabupaten Kendal, Purworejo, dan Kota Pekalongan direbut oleh Golkar. Sebaliknya, PDIP berhasil merebut kembali Kabupaten Tegal, Magelang, Karanganyar, dan Kota Salatiga dari dominasi PKB dan Golkar.
Pamor PDIP di Jateng meningkat lagi pada Pemilu 2014 di mana partai moncong putih ini berhasil merebut kembali basisnya selama 3 pemilu sebelumnya secara signifikan. PDIP unggul di 29 kabupaten/kota. Kabupaten Semarang, Kudus, Kota Semarang, dan Kota Magelang diambil alih dari Demokrat, Kabupaten Kendal dan Purworejo diambil alih dari Golkar. Kabupaten Jepara yang sejak Pemilu 1999 menjadi basis PPP, pemilu kali ini beralih menjadi pendukung PDIP.
Pamor PDIP di Jateng meningkat lagi pada Pemilu 2014 partai moncong putih berhasil merebut kembali basisnya.
Partai nasionalis–sekuler yang cukup eksis hingga Pemilu 2014 adalah Golkar. Partai ini berhasil mempertahankan Kota Pekalongan sebagai basisnya. Sementara itu partai ini juga berhasil mengambil alih basis PDIP di Kabupaten Blora, dan basis Demokrat di Kabupaten Demak. Partai Demokrat yang sempat menang di 7 wilayah, di pemilu ini kehilangan semua kantong suaranya. Sementara PKB berhasil mempertahankan basisnya di Kabupaten Pekalongan dan merebut basis PDIP di Kabupaten Tegal.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2Fkompas_tark_23157589_14_0.jpeg)
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri (kiri) tengah berbincang dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj hadir (kanan) dalam acara Apel Besar Hari Lahir atau Harlah ke-93 Nahdlatul Ulama di Taman Candra Wilwatikta, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu (30/4) malam. Apel besar yang mengambil tema Meneguhkan Pancasila mengibarkan Merah Putih itu diikuti ribuan warga Nahdliyin dan berbagai elemen masyarakat, termasuk kader dan simpatisan PDIP
Kabupaten Rembang menjadi wilayah yang paling dinamis peta politiknya, karena sejak Pemilu 1999 tidak satu pun parpol mampu menjadikan wilayah ini sebagai basis kemenangan pada pemilu berikutnya. PDIP yang menjadi pemenang Pemilu 1999 harus angkat kaki karena pada Pemilu 2004 Rembang menjadi daerah kemenangan Golkar. Pada pemilu berikutnya, Golkar juga harus angkat kaki lantaran Demokrat merupakan partai penguasa baru. Pemilu 2014, Demokrat pun hengkang lantaran PPP mampu meraih kemenangan di sini.
Pengaruh PDIP yang berjalin dengan karakter dan kultur masyarakat kelas bawah atau wong cilik di Jateng telah melahirkan ikatan batin yang kuat antara partai dengan pemilihnya. Kedudukan partai sebagai pemenang selalu dijaga dengan baik sehingga bagian terbesar daerah yang menjadi basis PDIP sulit untuk ditembus oleh partai-partai lain.
Sebut saja Kota Surakarta dan beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah eks Karesidenan Surakarta yang terkenal sebagai basis terkuat PDIP di Jateng sejak lama. Wilayah lain yang solid dalam menjaga kemenangan PDIP di daerah mereka adalah eks Karesidenan Banyumas. Kedua wilayah ini masih menjadi penyokong kemenangan terbesar PDIP di Jateng.
Ikatan ini lalu membuat para pemilih PDIP sangat loyal kepada partai ini, sehingga sulit untuk berpindah ke partai lain. Daerah-daerah kemenangan PDIP yang rentan untuk berpindah partai pun memperlihatkan kecenderungan adanya kesamaan warna ideologis, yaitu nasionalisme sekuler.
Hal ini menjawab alasan di balik migrasi pemilih PDIP di sejumlah daerah yang cenderung memilih parpol dengan basic karakter ideologi relatif serupa, terutama Golkar dan Demokrat. (SULTANI/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)