Menerobos Tradisi Demi Menyelamatkan Anak Perempuan
Pernikahan di usia anak masih terjadi di Pulau Lombok. Tradisi kawin lari secara turun-temurun turut melanggengkan praktik itu. Butuh kerja keras untuk menerobos tradisi tersebut demi masa depan anak-anak.
Kendati dampak dan risiko perkawinan anak sangat besar terutama bagi anak perempuan, hingga kini praktik menikah dini di usia anak-anak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat masih berlangsung. Hampir setiap saat perkawinan anak (merariq kodeq) terjadi di daerah itu. Pernikahan anak perempuan yang masih berusia belasan tahun, dipandang lumrah oleh masyarakat setempat.
Tradisi menikah (merariq) dengan cara melarikan calon pengantin perempuan yang berlangsung turun temurun, membuat masyarakat di desa-desa bersikap permisif. Tak peduli berapa umurnya, apakah baru lulus sekolah dasar, atau masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, asalkan anak perempuan tersebut sudah dilarikan atau dibawa oleh pasangan laki-laki ke rumah orangtunya, mereka harus dinikahkan.
“Saudara-saudara kandung saya yang perempuan, hampir tidak ada yang lulus kuliah karena menikah. Banyak yang tidak punya buku nikah. Di masyarakat tidak berlaku hukum pemerintah. Mau seribu peraturan pun tidak akan pengaruh,” ujar TGH Lalu Abussulkhi Khairi (32), Ketua Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Selasa (22/1/2019).
Saudara-saudara kandung saya yang perempuan, hampir tidak ada yang lulus kuliah karena menikah. Banyak yang tidak punya buku nikah. Di masyarakat tidak berlaku hukum pemerintah.
Abussulkhi bercerita, ketika seorang perempuan sudah dibawa sang laki-laki ke rumahnya, itu berarti proses tradisi sudah dimulai. Proses pertama adalah nyelabar (keluarga laki-laki mendatangi pemerintah setempat dan keluarga perempuan untuk mengabarkan anak perempuan mereka sudah dilarikan).
Berikutnya adalah bersejati (mengecek apakah benar anak perempuan itu dibawa lari). Setelah itu proses rebak pucuk/mucuq (memastikan kedua pengantin siap dinikahkan), kemudian proses perkawinan dilangsungkan. Biasanya tidak sampai sepekan, perkawinan sudah terlaksana.
Meski calon pengantin masih anak-anak, tak ada alasan yang bisa menghentikan tradisi perkawinan itu. Sampai kini tradisi itu menjadi awig-awig (kesepakatan tingkat desa) yang sulit diubah. Kecuali sang anak itu sendiri atau orangtuanya berubah pikiran, dan bersepakat memisahkan pasangan yang akan menikah (dibelas)-hingga mereka sudah cukup umur baru dinikahkan. Namun itu jarang terjadi karena upaya belas kerap berujung masalah dengan keluarga laki-laki yang merasa “dipermalukan” karena perkawinan dibatalkan.
Tradisi itu terus langgeng, bahkan “menyandera” masyarakat di Lombok. Padahal, jika dikaji lebih jauh, menurut Abussulkhi, sebenarnya awig-awig tersebut dasar hukumnya tidak jelas, namun masyarakat melestarikan di dalam kehidupan sehari-hari. “Anak-anak tak tahu hukum apa yang mereka langgar,” kata Abussulkhi.
Di luar kondisi itu, juga terjadi calon pengantin yang masih anak-anak justru bersikeras minta dinikahkan dan tidak bisa dihalangi lagi. “Pendidikan masih dianggap belum berharga. Menikah itu lebih penting,” ujar Abussulkhi seraya menyatakan murid-murid yang belajar di pondok pesantren yang dipimpinnya banyak yang tidak menyelesaikan sekolahnya. Ia menyebutkan, dari 35 murid di ponpesnya, hanya sekitar 10 anak yang lulus sampai setingkat SMP.
LPAD dan Perdes Perlindungan Anak
Begitu kuatnya tradisi di daerah tersebut, hingga mendorong Pemerintah Desa Kuta untuk melakukan terobosan untuk melindungi anak-anak di desanya, agar tidak terus menerus menjadi korban praktik perkawinan dini. Sejak tahun 2016, Pemerintah Desa Kuta mendapat pendampingan dari Yayasan Galang Anak Semesta (Gagas) dan Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII) tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga terbentuklah Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD).
Untuk memperkuat kerja LPAD, tahun 2017, Pemerintah Desa Kuta menerbitkan Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak, yang mengatur hak-hak anak termasuk kewajiban pemerintah desa. Sejak tahun 2017, Desa Kuta mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) untuk kegiatan perlindungan anak. Tahun 2017 (Rp 13 juta), 2018 (Rp 18 juta), dan 2019 (rencana di atas Rp 20 juta).
“Kami ingin mengubah tradisi masyarakat. Karena masih kental tradisinya. Istilahnya berapapun umurnya, ya kawin sudah,” ujar Mardan, Sekretaris Desa Kuta, yang juga dibenarkan oleh Muhammad Saparudin, Ketua Badan Permusyarawaratan Desa (BPD) Kuta.
Ada banyak faktor penyebab perkawinan anak, selain tradisi yang kawin lari, juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan perekonomian masyarakat yang rendah. Di Kuta, dari 8.000 jiwa penduduk, hampir 1.000 jiwa buta huruf.
Karena itu, semenjak LPAD terbentuk, sosialiasi tentang stop perkawinan anak terus dilakukan. Tak hanya itu, ketika mendapat laporan ada anak-anak yang akan dinikahkan, LPAD pun langsung turun ke dusun-dusun. Tak peduli waktunya siang atau tengah malam, bahkan dini hari, tim LPAD akan menemui keluarga dan meminta supaya perkawinan anak tidak dilakukan. Hingga, akhir Januari 2019, sudah 17 rencana perkawinan anak yang batal karena pendekatan yang dilakukan LPAD.
Namun, tidak semua perkawinan anak berhasil dicegah. Bahkan, sehari sebelum ditemui Kompas dan beberapa wartawan, Saparuddin dan Abussulkhi mengungkapkan LPAD sempat menangani dan berupaya mencegah perkawinan seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP dengan laki-laki dewasa. Namun upaya LPAD tersebut tidak berhasil, karena sang anak perempuan tetap nekad ingin menikah.
“Ketika mendengar ada anak dilarikan, kami langsung mendatangi rumah laki-laki. Jam 12 malam. Orangtua perempuan mau anaknya dibelas, tapi anaknya sendiri tidak mau. Ini tantangan kami,” ujar Saparuddin.
Kendati menghadapi berbagai tantangan, terutama berhadapan dengan tradisi yang kuat, LPAD Kuta tetap bergerak. Tak hanya membuka cara berpikir masyarakat, sejak tahun 2018 LPAD pun merangkul anak-anak di desa untuk menjadi pelopor pencegahan perkawinan anak dengan membentuk Sanggar Anak Desa Kuta.
“Awalnya hanya belasan, sekarang sudah ada sekitar 100 anak yang bergabung. Tahun lalu kami menggelar Jambore Anak yang diikuti sekitar 130 anak dari 20 dusun,” ujar Saparuddin.
Melalui Jambore tersebut anak-anak diberikan pemahaman tentangnya hak-hak anak serta pentingnya pendidikan, dan kesehatan reproduksi. Pemahaman yang diperoleh juga menjadi bekal bagi anak-anak tersebut untuk mengajak teman-teman sebayanya agar tidak cepat-cepat menikah. Melalui sanggar anak, mereka juga menyampaikan aspirasi anak-anak kepada masyarakat melalui pentas seni budaya termasuk pentas wayang ramah anak.
“Kami selalu meminta kepada teman-teman, bareh juluk merariq kodeq, langan masi belo gati (nanti dulu menikah di usia anak, perjalanan masih panjang sekali),” ujar Desmala (17) salah satu anggota sanggar anak.
Kuta adalah salah satu desa di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat, yang menjadi sasaran Program Down to Zero (DtZ) yang dilakukan YPII dan Gagas untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Hasil Analisa Situasi Hak Anak yang dilakukan YPII dan Gagas tahun 2016, menemukan perkawinan anak merupakan pemicu ESKA.
“Tradisi kawin lari membuat anak terjebak dalam perkawinan tapi karena tidak siap, mereka mudah bercerai dan menjanda, sehingga rawan menjadi korban ESKA dan tindak pidana perdagangan orang,” ujar Fitri Noviana, Manager Proyek Dtz dari YPII.
Di Tanah Air, NTB termasuk provinsi yang prevalensi perkawinan anaknya tinggi. Data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB tahun 2015, sebanyak 34,9 persen perempuan di NTB menikah pada usia 10-19 tahun. Mengubah tradisi memang tak mudah. Namun langkah LPAD Kuta bisa menjadi role model bagi daerah lain di NTB untuk menyelamatkan anak-anak perempuan dari praktik perkawinan anak.