JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang membentuk tim pengkaji kebijakan pembiayaan baru program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Tim tersebut akan mengulas daftar layanan kesehatan yang akan dikenai tambahan biaya melalui ketentuan urun biaya dan selisih biaya.
Urun biaya adalah tambahan biaya yang dibayar oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang ingin menambah pelayanan kesehatan dari standar yang sudah ditetapkan. Ketentuan ini hanya akan berlaku pada layanan kesehatan tertentu. Namun, belum ada daftar layanan kesehatan yang akan dikenai urun biaya.
”Kami baru membentuk tim pengkaji untuk menentukan jenis layanan kesehatan yang akan dikenai urun biaya. Belum ada kriteria yang bisa kami jabarkan terkait jenis pelayanan tersebut,” kata Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Tim tersebut akan terdiri atas beragam pihak, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), dan akademisi. Menurut rencana, tim pengkaji akan selesai dibentuk pada akhir Januari 2019.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan Sundoyo mengatakan, pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya tidak boleh membebani peserta JKN-KIS. Pelaksanaannya harus dipastikan atas keinginan pribadi peserta yang ingin menambah layanan kesehatan ataupun yang ingin mendapat layanan dari kelas yang lebih tinggi.
”Makanya (pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya) harus dikawal, baik oleh organisasi profesi, BPJS Kesehatan, maupun Kementerian Kesehatan, agar benar-benar sesuai dengan peraturan,” kata Sundoyo.
Menurut dia, pihaknya akan menunggu masukan dari pihak-pihak tersebut mengenai usulan layanan kesehatan yang akan dikenai urun biaya dan selisih biaya. Ia menambahkan, Kementerian Kesehatan juga akan proaktif untuk mengirim surat ke pihak-pihak terkait.
Mencegah penyalahgunaan
Menurut Sundoyo, pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya dapat mencegah potensi penyalahgunaan pelayanan kesehatan. Penyalahgunaan itu, lanjutnya, bisa dilakukan banyak pihak, baik peserta JKN-KIS, BPJS Kesehatan, maupun pihak rumah sakit.
”Misalnya ada peserta JKN-KIS yang ingin melahirkan dengan cara caesar. Padahal, hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa ia bisa melahirkan secara normal. Peserta tetap bisa melahirkan secara sesar, tetapi harus membayar urun biaya karena layanan kesehatannya bertambah,” ucap Sundoyo.
Hal senada dikatakan Kalsum. Urun biaya dan selisih biaya, ujarnya, dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan atau moral hazard. Selain itu, ketentuan tersebut juga berguna untuk mengendalikan mutu dan biaya dari program JKN-KIS.
Kalsum menjelaskan, urun biaya adalah tambahan biaya yang dibayar oleh peserta JKN-KIS yang ingin menambah pelayanan kesehatan. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi penerima bantuan iuran (PBI) peserta JKN-KIS yang didaftarkan oleh pemerintah daerah.
Ketentuan urun biaya dan selisih biaya ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Besaran urun biaya yang dikenakan pada setiap kunjungan ke rumah sakit kelas A dan B adalah Rp 20.000, sedangkan di rumah sakit kelas C, D dan klinik utama adalah Rp 10.000. Jumlah urun biaya maksimal untuk 20 kali kunjungan dalam tiga bulan adalah Rp 350.000.
Untuk rawat inap, besar urun biaya adalah 10 persen dari total tarif yang ditentukan INA-CBG’s, tarif pelayanan kesehatan yang pemerintah tetapkan. Besaran urun biaya maksimal untuk rawat inap adalah Rp 30 juta.
Sementara itu, selisih biaya adalah biaya tambahan yang dikenakan bagi peserta JKN-KIS yang ingin naik kelas dari hak kepesertaannya. Namun, setiap peserta hanya bisa naik satu kelas dari haknya.
Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi PBI, peserta JKN-KIS yang iurannya dibayar oleh pemerintah daerah, dan pekerja penerima upah yang diputus hubungan kerjanya.
”Misalnya, seorang peserta JKN-KIS kelas dua ingin naik ke kelas satu. Nanti selisih biaya antara kelas dua dan satu akan dibayar secara mandiri, baik oleh peserta, pemberi kerja, atau melalui asuransi kesehatan tambahan,” kata Sundoyo.
Menurut dia, fasilitas kesehatan harus memberi tahu adanya kebijakan selisih biaya dan urun biaya harus kepada pasien. Hal ini bisa dilakukan secara langsung saat pendaftaran ataupun secara tidak langsung melalui media informasi yang dimiliki fasilitas kesehatan. (SEKAR GANDHAWANGI)