Kebangkitan Populisme Primordial akibat Kegagalan Institusi Demokrasi
JAKARTA, KOMPAS — Kebangkitan populisme primordial dalam politik Indonesia saat ini dinilai berasal dari kegagalan institusi demokrasi selama masa reformasi dalam menyampaikan aspirasi kesenjangan ekonomi yang dirasakan masyarakat serta menyelesaikannya.
Jika populisme dan primordialisme tidak bisa segera dikurangi pengaruhnya, demokrasi Indonesia dapat semakin mundur. Untuk itu, partisipasi publik yang lebih luas diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan kepada institusi demokrasi formal.
Populisme diyakini merupakan manifestasi dari sikap sebagian masyarakat yang mempertanyakan kesahihan institusi demokrasi formal. Direktur Asia Institute Melbourne University Vedi Hadiz mengatakan, munculnya keraguan ini berakar pada jurang kesenjangan sosial ekonomi yang semakin lebar.
Hal ini memberikan persepsi bahwa demokrasi tidak berjalan bersamaan dengan keadilan ekonomi. Elite politik yang terpilih dinilai tidak berhasil menyalurkan aspirasi masyarakat dan menyelesaikan persoalan tersebut. Beralihnya warga menuju aktor-aktor politik yang di luar lingkaran elite merupakan konsekuensi logis dari terblokirnya aspirasi mereka oleh sistem yang resmi.
”Meski demokrasi di Indonesia masih memiliki legitimasi yang tinggi, kekecewaan terhadap berjalannya demokrasi ini juga tinggi karena tidak berjalan dengan pemerataan ekonomi,” kata Vedi saat berkunjung ke kantor redaksi Kompas pada Kamis (10/1/2019) siang. Dalam kesempatan itu, Vedi berdiskusi antara lain dengan Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Ninuk Mardiana Pambudy, dan anggota redaksi lainnya.
Meski demokrasi di Indonesia masih memiliki legitimasi yang tinggi, kekecewaan terhadap berjalannya demokrasi ini juga tinggi karena tidak berjalan dengan pemerataan ekonomi.
Vedi mengatakan, demokrasi terancam semakin mengalami kemunduran apabila aktor politik yang mengandalkan aspek primordial terus digunakan oleh para elite politik di kancah persaingan nasional.
”Kondisi semacam ini yang memberikan fertile ground atau lahan yang subur untuk tumbuhnya jenis politik yang kita liat jelang pemilu ini. Hoaks, disinformasi, dan bom (yang dilempar ke pimpinan KPK) ini bersifat mendelegitimasi proses demokrasi. Secara monumental ini terjadi di Amerika,” kata Vedi mengacu pemilihan presiden AS pada 2016 yang memunculkan pengusaha Donald Trump sebagai pemenang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tren indeks gini yang terus meningkat dalam 20 tahun terakhir atau selama masa reformasi. Pada 1999, indeksi gini berada pada angka 0,308. Pada 2013 menjadi 0,413. Baru menjelang akhir periode pemerintahan Joko Widodo, angka indeks gini sedikit menurun menjadi 0,389 pada Maret 2018.
Penelitian Bank Dunia pada 2015 pun menunjukkan bahwa ketimpangan Indonesia semakin melebar pada masa reformasi. Pada 2002, sebanyak 10 persen populasi terkaya Indonesia mengonsumsi dengan jumlah yang sama dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin, sedangkan pada 2014 mereka mengonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen warga termiskin.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, mengatakan, demokrasi yang terlampau prosedural juga berkontribusi meningkatakan ketidakpercayaan publik kepada institusi demokrasi formal. Hal ini menyebabkan keterlibatan langsung masyarakat berkurang dan menambah jarak.
Mengembalikan marwah demokrasi kepada keadilan sosial menjadi kunci untuk menjaga kualitas demokrasi, menurut Vedi. Demokrasi harus dibebaskan dari pengaruh-pengaruh oligarkis yang berkuasa. Oligarki di pemerintahan Indonesia bergerak melalui partai-partai politik yang cenderung melayani kepentingan para elite, bukan kepada masyarakat.
”Namun siapa yang mau (memberikan keadilan sosial)? Mungkin tidak ada karena itu akan menimbulkan challenge terhadap posisi oligarki,” kata Vedi.
Partisipasi publik
Meningkatkan kualitas demokrasi, Amin menilai, dapat dilakukan melalui meningkatkan kepercayaan publik. Menurut dia, partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan dan pembangunan harus ditingkatkan. Saat ini, seakan-akan partisipasi publik dalam demokrasi Indonesia yang terlampau prosedural terbatasi hanya melalui pemilu.
”Solusinya adalah partisipasi masyarakat itu tidak sekadar memilih tetapi juga dalam day-to-day pembangunan. Ini supaya tidak ada kesan bahwa segala kebijakan dan pembangunan ini milik elite,” kata Amin.
Jika populisme dan primordialisme tidak bisa segera dikurangi pengaruhnya, demokrasi Indonesia dapat semakin mundur.
Amin menilai, forum-forum seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang) sudah menjadi contoh yang baik. Teknologi digital, seperti e-budgeting (penganggaran elektronik), pun seharusnya dapat dioptimalkan untuk mengurangi jarak antara elite politik di pemerintahan dan warga.
”Itu adalah salah satu cara supaya warga bsia terlibat dalam proses perumusan dan kontrol pembangunan. Hal ini dapat mendekatkan kesadaran politik warga,” kata Amin.
Dalam jurnal ilmiah berjudul Thick Populism: Democracy-Enhancing Popular Participation (2018), Albert Dzur dan Carolyn Hendriks mengemukakan bahwa hampir selama dua dekade terakhir, kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam politik formal terus menurun. Bentuk lembaga politik dan organisasi sipil yang sangat konvensional dan kaku membuat partisipasi publik menjadi sulit dan tidak menarik bagi banyak anggota masyarakat.
Untuk itu, Dzur dan Hendriks melihat bahwa ada peluang bagi sebuah pembaruan demokrasi untuk memperbaiki persoalan ini. Dzur dan Hendriks berargumentasi, untuk meningkatkan partisipasi, metode yang dipersiapkan harus bersifat mudah diakses, informal, konversasional, dan fleksibel.