JAKARTA, KOMPAS – Putusan Badan Pengawas Pemilu mengenai gugatan administratif yang diajukan oleh Oesman Sapta Odang mencerminkan karut-marutnya sistem hukum pemilu. Putusan itu dinilai setengah-setengah oleh sebagian pihak dan cenderung kompromistis karena seolah-olah berusaha mewadahi semua putusan pengadilan yang berbeda-beda terkait dengan keikutsertaan Oesman sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Dalam putusan mengenai laporan pelanggaran administratif yang diajukan Oesman Sapta, Rabu (9/1/12019) di kantor Bawaslu, di Jakarta, KPU dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu. Bawaslu memerintahkan KPU untuk mencabut keputusannya tentang penetapan daftar calon tetap (DCT) perseorangan peserta pemilu anggota DPD Tahun 2019. KPU diperintahkan untuk mencantumkan nama Oesman di DCT baru seusai dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Akan tetapi, Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk menetapkan Oesman sebagai calon terpilih anggota DPD, bila ia bersedia mundur sebagai pengurus partai politik paling lambat 1 hari sebelum penetapan dirinya sebagai calon terpilih. Apabila ia tidak mengundurkan diri sebagai pengurus parpol dalam jangka waktu yang ditetapkan itu, Bawaslu memerintahkan KPU untuk tidak menetapkan Oso sebagai calon terpilih pada Pemilu 2019.
“Memerintahkan terlapor (KPU) untuk tidak menetapkan Oesman Sapta Odang sebagai calon terpilih pada Pemilu 2019 apabila tidak mengundurkan diri sebagai pengurus parpol paling lambat 1 hari sebelum penetapan calon terpilih Pemilu 2019,” kata Ketua KPU Abhan yang memimpin sidang tersebut. Selain Abhan, empat anggota Bawaslu hadir dalam sidang tersebut, yakni Mochammad Afifuddin, Ratna Dewi Pettalolo, Rahmat Bagja, dan Fritz Edward Siregar.
Bawaslu dalam pertimbangannya mengatakan putusan PTUN merupakan putusan pengadilan yang final dan mengikat sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Bahwa terlapor yang tidak menindaklanjuti poin tiga dan empat dalam putusan PTUN tanggal 14 November 2018 itu melanggar tata cara, dan prosedur serta mekanisme proses Pemilu 2019,” kata Ratna dalam pertimbangan yang dibacakannya.
Satu anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, memiliki opini yang berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut. Fritz sepakat dengan putusan yang menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif karena tidak melaksanakan putusan PTUN tiga hari kerja setelah putusan itu dibacakan. Namun, Fritz menilai keputusan KPU yang meminta Oesman untuk mundur sebelum namanya dicantumkan di dalam DCT telah sesuai dengan desain kelembagaan DPD sebagaimana diatur di dalam konstitusi dan ditafsirkan oleh putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018. Desain kelembagaan DPD yang dimaksudkan Fritz ialah sebagai badan perwakilan daerah, bukan perwakilan parpol.
“Saya menyatakan KPU terbukti dalam melakukan pelanggaran administratif dalam proses penerbitan surat. Namun substasi surat terkait pengajuan pengunduran diri pengurus parpol sebelum penetapan daftar calon tetap (DCT) tidak hanya mengikuti perintah MK, tetapi juga merupakan kepatuhan terhadap desain kelembagaan DPD,” kata Fritz dalam pertimbangannya.
Dinilai Kompromistis
Mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, putusan Bawaslu mengabaikan prinsip keadilan dalam proses pemilu. Bawaslu dinilai berupaya mengambil jalan tengah. “Putusan Bawaslu ini seolah-olah mencari jalan tengah, padahal seharunsya itu tidak perlu dilakukan. Kita memerlukan penyelenggara pemilu yang betul-betul tegas, berani, dan konsisten dengan tidak melihat kasus per kasus, tetapi prinsipnya yang harus dipegang. Prinsip itu ialah landasan tertinggi kita sbegaai negara, yakni konstitusi,” katanya.
Prinsip dalam konstitusi itu, menurut Hadar, telah ditafsirkan oleh MK dalam putusannya yang menyatakan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, bukan perwakilan parpol. Dengan demikian, calon anggota DPD tidak boleh pengurus parpol. “Kalau kemudian itu dikompromikan, hal itu bertentangan dengan Putusan MK,” katanya.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, putusan yang kompromistis oleh Bawaslu itu merupakan hasil dari kompleksitas penyelesaian hukum dalam proses pemilu di Tanah Air. Sengketa pemilu tidak berhenti atau final di Bawaslu, melainkan ada mekanisme administrasi yang bisa ditempuh oleh peserta, sehingga menyebabkan ada celah untuk melakukan upaya hukum yang sifatnya abu-abu, dan berpotensi memicu ketidakpastian hukum.
“Ada sistem hukum berlapis yang membuat penyelenggara pemilu tidak leluasa dalam mengambil putusan lantaran ada putusan peradilan yang berbeda-beda. Kondisi ini membuat mereka juga berupaya memenuhi putusan semua peradilan itu, kendati pada akhirnya justru menimbulkan problem baru, dan memicu sengketa hukum yang panjang,” ujar Wasisto.
Terhadap putusan Bawaslu itu, anggota KPU Hasyim Asy\'ari mengatakan, pihaknya akan melakukan rapat pleno secepatnya untuk merespons putusan tersebut. “Kami menunggu dulu salinan putusannya, dan secepatnya melakukan rapat pleno,” katanya yang hadir mewakili KPU di dalam sidang.
Kuasa hukum Oesman Sapta, Herman Abdul Kadir, menilai putusan Bawaslu itu tidak sepenuhnya mematuhi perintah PTUN, karena masih ada perintah agar Oesman mundur dari pengurus parpol. “Putusan PTUN itu tidak ada embel-embel mundur, tetapi dalam putusan Bawaslu ini Pak Oesman diminta mundur,” katanya. Ia dan tim akan berkonsultasi dengan Oesman terkait dengan sikap mereka selanjutnya atas putusan tersebut.