JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung dinilai memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang belum tuntas. Dibutuhkan figur kharismatik yang punya visi besar dalam menyelesaikan permasalahan itu.
Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengatakan, ada beberapa masalah Mahkamah Agung (MA) yang perlu diselesaikan antara lain, kualitas putusan, mutasi dan promosi hakim, serta pengaturan untuk lembaga-lembaga informal di luar pengadilan yang mempengaruhi kinerja lembaga peradilan.
“Permasalahan lain yaitu adanya disparitas penegakan kode etik atau pengawasan antara MA dan Komisi Yudisial,” ujar Erwin di Jakarta, Senin(7/1/2019).
Dikutip dari catatan Kompas (28/12/2018), per Desember 2018, Badan Pengawasan MA menerima 2.809 pengaduan. Dari jumlah itu, 1.134 pengaduan selesai diproses dan 1.675 pengaduan masih diproses. Sebanyak 163 aparat peradilan dijatuhi sanksi. Rinciannya, 43 orang dikenai sanksi berat, 35 sanksi sedang, dan 85 sanksi ringan. Sanksi itu termasuk yang direkomendasikan Komisi Yudisial.
Dari data MA, ada 21 hakim ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi. Sepanjang tahun 2018, misalnya, ada lima hakim tersangkut korupsi. Selain itu, ada tiga panitera pengganti yang ditangkap KPK.
Permasalahan lain yaitu adanya disparitas penegakan kode etik atau pengawasan antara MA dan Komisi Yudisial
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah menyampaikan, MA telah mencanangkan semua pengadilan memperoleh predikat Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi yang Bersih dan Melayani. Oleh sebab itu semua pengadilan harus menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan e-Court.
Tantangan
Erwin menambahkan, tantangan ke depan adalah tidak adanya figur-figur kharismatik yang punya visi besar dalam menyelesaikan permasalahan itu. Untuk itu, ia menyarankan agar KY juga mendorong dan mencari figur-figur bagus di luar pengadilan untuk diabsorbsi ke dalam MA.
“Sayang, KY sendiri gagal menyeleksi hakim-hakim bagus untuk memperkuat MA. Hakim-hakim yang diseleksi KY malah ikut dalam kultur internal MA, bukan menjadi pembeda,” katanya.
Senada dengan Erwin, Direktur HICON Law & Policy Strategic Hifdzil Alim menyampaikan, hakim agung itu menjadi contoh bagi hakim pengadilan tinggi maupun pengadilan negeri. Oleh sebab itu, dibutuhkan sosok hakim yang berintegritas seperti Artidjo Alkostar.
"Hakim agung yang dibutuhkan saat ini juga harus memiliki independensi tinggi, karena muara peradilan ada di MA. Independensi itu penting sebab proses pengadilan MA tertutup dan tidak ada kontrol," kata Hifdzil.
Rekam jejak dari calon hakim agung, menurut Hifdzil, merupakan hal yang penting. Oleh sebab itu, KY perlu hati-hati dalam memverifikasi ulang rekam jejak tersebut.
"Jika pola seleksi sekarang yang dilakukan KY sama seperti pola tahun 2009, saya kira bagus. Karena pada tahap awal itu, KY melibatkan masyarakat untuk melakukan pemilahan," kata Hifdzil.
Sementara itu, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari menuturkan, KY melakukan seleksi hakim secara independen, transparan, dan akuntabel dengan mengutamakan terpilihnya hakim agung yang berintegritas dan kompeten.
Dengan demikian, proses seleksi hakim agung bisa bebas dari kepentingan politik atau kepentingan lainnya yang akan mempengaruhi independensi MA.
"Begitu pun dengan mengutamakan seleksi hakim agung yang berintegritas dan kompeten bisa meningkatkan kualitas dan integritas MA," ujarnya.
Menurut Abdullah, setiap upaya pasti ada tantangan. Setiap tantangan harus dicari solusi yang tepat. Membina dan mengawasi manusia tidak mudah. “Pengawasan suami-istri yang dilakukan 24 jam saja masih ada yang menyimpang,” ucap Abdullah.
Sebelumnya, Ketua MA Hatta Ali mengatakan, terbuka kemungkinan kerja sama MA dan KPK untuk menguatkan sistem pengawasan. Selama ini MA berupaya mencegah korupsi di kalangan hakim, antara lain dengan pengawasan berjenjang dan melekat. MA juga melarang aparat peradilan bertemu pihak beperkara. (Kompas, 28/12/2018) (MELATI MEWANGI)