UMKM Berpotensi Tingkatkan PDB
JAKARTA, KOMPAS - Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dapat berkontribusi lebih terhadap produk domestik bruto tahun ini. Berbagai usaha yang masih beroperasi secara informal dapat diajak untuk masuk ke dalam sektor formal.
Indikatornya, ada peningkatan wajib pajak UMKM. Hal itu mendorong peningkatan pajak penghasilan atau PPh UMKM.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 13.588 triliun pada 2017. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menyebutkan, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 60 persen pada 2017.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, Jumat (4/1/2018), mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia saat ini stagnan di angka 5 persen. Salah satu penyebab adalah masih banyak UMKM di sektor informal sehingga transaksi ekonomi terjadi tanpa tercatat.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat terobosan insentif dan sosialisasi secara konsisten terkait keuntungan pelaku usaha masuk ke sektor formal,” tutur Piter.
Ia berpendapat, ada dua keuntungan ketika UMKM menjadi formal. Selain menambah penerimaan pajak, jumlah PDB akan meningkat sehingga lebih memacu pertumbuhan ekonomi.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Meliadi Sembiring sepakat, potensi UMKM untuk masuk ke sektor formal masih terbuka lebar. Ada tren peningkatan jumlah UMKM bertahap selama beberapa tahun terakhir.
Jumlah UMKM berturut-turut selama 2014-2017 adalah 57,89 juta unit, 59,26 juta unit, 61,65 juta unit, dan 62,9 juta unit. Potensi pertumbuhan unit usaha juga diyakini akan terjadi pada 2019.
“Setiap tahun jumlah UMKM bertambah. Kebanyakan yang mendaftar adalah usaha mikro atau kecil,” kata Meliadi.
Meliadi melanjutkan, dibandingkan negara ASEAN lainnya, kuantitas UMKM Indonesia adalah yang terbesar. Namun, dari segi kualitas dan daya saing masih kalah. Itu terlihat dari kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia dengan negara ASEAN tidak berbeda jauh.
Tantangan terbesar pemerintah untuk menarik UMKM masuk ke sektor formal adalah ketidakpahaman pelaku usaha untuk mendaftar. Padahal, banyak keuntungan yang dapat dinikmati ketika usaha menjadi legal, seperti mendapat fasilitas untuk mengurus Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan mengembangkan usaha.
Wajib pajak UMKM Naik
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan, pemerintah berupaya meningkatkan potensi penerimaan pajak melalui penurunan pajak bagi pelaku UMKM.
Upaya itu diwujudkan dalam Peraturan pemerintah Nomor 23 tahun 2018 tentang pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM sebesar 0,5 persen.
“Perubahan tarif PPh Final UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet bulanan memang juga diatribusikan untuk mendorong para pelaku UMKM bergerak ke arah sektor formal,” kata Hestu.
Dengan penurunan pajak menjadi 0,5 persen, Kemenkeu mencatat, selama 1 Juli-7 Desember 2018, ada peningkatan signifikan wajib pajak (WP) UMKM sebesar 311.197 WP baru. Dengan demikian, jumlah pembayar PPh Final UMKM secara keseluruhan mencapai 1,69 juta WP dengan nilai mencapai Rp 5,37 triliun per 7 Desember 2018.
Hestu melanjutkan, aturan tersebut membuat pelaku UMKM dapat masuk ke sistem perpajakan, membuat pencatatan sederhana, dan mendapatkan kredit dari perbankan. Sosialisasi terkait PPh Final 0,5 Persen terus dilakukan, termasuk melalui kolaborasi dengan Rumah Kreatif BUMN (RKB).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah mengatakan, penarikan pajak dari sektor UMKM perlu dilakukan dengan terencana. “Aspek keadilan dalam menarik pajak harus ditekankan. Penarikan pajak untuk meningkatkan APBN tidak hanya berlaku kepada pelaku UMKM, juga kepada pelaku usaha besar,” katanya.
Rusli menambahkan, selain itu, ada potensi terjadi penurunan konsumsi rumah tangga ketika pajak meningkat. Namun, penerimaan pajak tetap dapat mendorong PDB karena belanja pemerintah juga ikut naik.
Namun, Piter menilai, konsumsi rumah tangga justru tidak akan terpengaruh. Itu karena tidak ada penambahan biaya yang akan mendorong kenaikan harga.