JAKARTA, KOMPAS – Kian dekat waktu Pemilu 2019, penyelenggara pemilu semakin sering menjadi korban dan sasaran kabar bohong. Jika sebelumnya kabar bohong cukup ditangkal dengan memaparkan data dan fakta ke publik, kali ini penyelenggara pemilu harus menempuh jalur hukum. Sebab, kabar bohong yang beredar mengancam Pemilu 2019.
Berdasarkan identifikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang Agustus-Desember 2018, sebanyak 62 konten kabar bohong yang berkaitan dengan Pemilu 2019 tersebar di internet dan media sosial. Banyak di antaranya merupakan kabar bohong yang menyerang penyelenggara pemilu.
Kabar bohong yang melibatkan KPU antara lain, isu penggunaan pemungutan suara daring, isu Kementerian Dalam Negeri yang menyelundupkan 31 data pemilih baru yang misterius dan tidak bisa di buka oleh KPU, ancaman pembunuhan pada anggota KPU jika tidak memenangkan Calon Presiden petahana Joko Widodo, dan isu pendatang dari China yang diberi arahan oleh KPU untuk mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS). Kominfo menegaskan seluruh isu itu merupakan kabar bohong.
Pada Rabu (2/1/2019) malam, kabar bohong kembali beredar, yakni isu ditemukannya tujuh kontainer berisi surat suara Pemilu 2019 yang sudah dicoblos, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. KPU dan Bawaslu yang mengetahui kabar ini langsung mengecek ke lokasi.
Berdasarkan peninjauan, Ketua KPU Arief Budiman memastikan bahwa isu tersebut merupakan kabar bohong. KPU bersama Bawaslu kemudian mendatangi Kantor Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, di Jakarta, Kamis (3/1), untuk melaporkan kabar bohong tersebut.
“Beberapa kali serangan-serangan berita bohong itu, kami selalu jawab dengan data dan fakta. Kali ini, kami menganggap isu ini sangat luar biasa berlebihan, dan kami rasa tidak cukup menjawabnya dengan data dan fakta. Kami merasa perlu melaporkan hal ini agar tidak berlanjut di masa yang akan datang,” kata Arief Budiman usai melapor, di kantor Bareskrim Polri.
Dia mengatakan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU memiliki kewajiban menjadikan proses pemilu berjalan aman, damai, dan adil.
Oleh karena itu, KPU meminta agar polisi menangkap penyebar kabar bohong tersebut untuk meluruskan berita yang meresahkan masyarakat dan mengganggu jalannya demokrasi di Indonesia.
“KPU membuka diri dengan menerima kritikan dan masukan, termasuk juga untuk mengingatkan KPU. Kami pasti akan merespon itu. Tetapi isu yang belum terverifikasi jangan disebar melalui media sosial yang terbuka dan terkesan seolah-olah tidak jelas ditujukan ke siapa,” ujarnya.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar juga mendukung langkah yang dilakukan KPU dan Kepolisian. Menurut dia, meluruskan berita bohong merupakan tanggung jawab bersama untuk menjaga pemilu.
“Undang-Undang telah mengatur secara tegas setiap pelaku yang menyebarkan isu atau hal-hal yang mengganggu proses Pemilu 2019 bisa dihukum,” tuturnya.
Bukti dikumpulkan
Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan, saat ini pihaknya telah mengumpulkan sejumlah bukti seperti rekaman suara. Dia pun menyatakan akan segera memanggil dan memproses pihak yang berkaitan dengan berita bohong tersebut.
“Kami akan melakukan proses penyidikan untuk mencari alat bukti dan siapa yang menyebarkan pertama kali sampai dengan penyebaran berikutnya. Oleh karena itu, KPU, Bawaslu memberikan dukungan berupa kesaksian, termasuk pihak Bea Cukai di Tanjung Priok,” kata Arief.
Arief menegaskan, pihaknya akan menuntaskan laporan ini secara cepat meski ia tidak memberikan batas waktu yang jelas. “Kami tidak mau memberikan tenggang waktu tetapi tidak selesai. Hal ini karena penyidikan memerlukan pembuktian. Tetapi kami usahakan secepatanya,” ujarnya.