Lembaga Peradilan dan Pergulatan Norma Pemilu di Tahun Politik
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Kepastian hukum menjadi salah satu isu menonjol dalam bidang hukum sepanjang tahun 2018. Dalam tahun politik ini, setidaknya dua momentum menandai pergulatan dalam penentuan norma untuk Pemilu 2019. Pertama ialah tentang legalitas Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam Pemilu 2019. Kedua, legalitas PKPU Nomor 26/2018 yang melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Dua PKPU itu menjadi perhatian publik karena dinilai mengemban semangat untuk menjadikan Pemilu 2019 lebih bersih dan konstitusional. Dua PKPU itu sama-sama menuai keberatan dari pihak yang merasa dirugikan bila peraturan tersebut diberlakukan. Untuk PKPU 20/2018, misalnya, Mahkamah Agung (MA) menerima permohonan uji materi dari 13 calon anggota legislatif (caleg) yang merasa dirugikan dengan ketentuan itu.
Kedua PKPU yang diajukan uji materi ke MA itu dikabulkan. Namun, proses hukum di balik pengujian materi dua PKPU itu mengundang kontroversi. Pertama, PKPU No 20/2018 yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg diputuskan lebih dulu daripada putusan MK atas uji materi Undang-undang No 7/2017 tentang Pemilu. Saat putusan PKPU No 20/2018 itu keluar, di MK masih ada empat perkara uji materi UU Pemilu yang belum tuntas diperiksa.
Sejumlah ahli menilai putusan MA ini secara literal bertentangan dengan putusan MK No 93/PUU-XV/2017. Putusan itu menyatakan pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan oleh MA ditunda pemeriksaannya apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK sampai ada putusan MK. Putusan itu merupakan tafsir MK atas Pasal 55 UU No 24/2003 tentang MK.
Sebaliknya, MA menilai tidak ada pertentangan, karena telah ada surat dari MK yang dijadikan landasan bagi MA untuk memutus terlebih dulu. Soal surat ini dibantah oleh juru bicara MK yang juga hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna. Kendati demikian, juru bicara MK yang mengurusi nonperkara, Fajar Laksono Soeroso, menyampaikan, MA bisa memutus terlebih dulu. Fajar mengatakan, pernyataan kepada media itu dikeluarkan sesuai petunjuk dari pimpinan MK.
Sampai di sini, polemik tentang PKPU No 20/2018 berhenti. Namun, hal ini menurut sejumlah ahli menjadi preseden buruk bagi berjalannya hukum acara uji materi di MA dan MK. Keluarnya putusan MA yang mendahului putusan MK itu dipandang tidak memenuhi syarat formil dan materiil.
“Dalam melaksanakan fungsinya, pengadilan menegakkan hukum dan keadilan. Ketika ada satu UU yang ditafsirkan oleh MK, yakni melalui Putusan No 93/PUU-XV/2017, proses uji materi di MA dihentikan sementara. Tetapi hal itu ditabrak. Bagaimana mau bicara substansi kalau secara formil putusan ini punya problem serius,” kata Dwi Bayu Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember.
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva memiliki pemahaman berbeda. Menurut dia, harus dilihat dulu apakah pasal yang sedang diuji di MK itu sama atau menjadi batu uji bagi peraturan perundang-undangan yang sedang diuji di MA.
“Tidak otomatis UU yang sedang diuji di MK tidak boleh diuji di MA. Harus dilihat dulu materinya (pasalnya), sama atau tidak. Jika ternyata pasalnya berbeda, sekalipun sama UU-nya, tidak masalah diputus oleh MA,” kata Hamdan (Kompas, 16/9/2018).
Beda pendapat
Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya putusan MA lebih dulu daripada putusan MK baru permulaan dari “persilangan” yang terjadi antara dua pengadilan itu. Dampak yang lebih serius dari perbedaan penafsiran antara dua lembaga peradilan itu timbul kemudian ketika MK mengeluarkan putusan No 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan 23 Juli 2018. Putusan itu menyatakan anggota DPD antara lain tidak boleh memiliki pekerjaan lain termasuk pengurus parpol.
Putusan MK itu memiliki dampak hukum berupa dilarangnya pengurus parpol menjadi caleg DPD. Mereka yang ingin menjadi caleg DPD harus mundur dari kepengurusan parpol. Ketentuan yang diatur di dalam PKPU No 26/2018 ini diuji materi ke MA oleh Oesman Sapta Odang, dan dikabulkan oleh MA. Putusan MA menyatakan pelarangan pengurus parpol untuk menjadi caleg DPD itu tidak belaku pada Pemilu 2019, melainkan pemilu selanjutnya. Adapun MK menilai ketentuan itu berlaku pada Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu selanjutnya.
Persoalan kali ini lebih kompleks, karena tidak hanya sampai di MA, Oesman alias Oso menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN mengabulkan permohonan Oso, dan memerintahkan KPU agar mencantumkan nama Oso ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD. Kasus tersebut saat ini kembali ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu.
Perbedaan putusan antara dua lembaga itu tak ayal membuat penyelenggara pemilu kerepotan karena harus mencari jalan tengah bagi dijalankannya semua putusan pengadilan.
Dualisme hukum
Dalam kasus yang melibatkan Oso ini, dualisme hukum terjadi. Adanya putusan MA dan PTUN yang berbeda dengan putusan MK dalam hal waktu berlakunya suatu norma, tidak hanya membuat penyelenggara kerepotan, tetapi lebih dari itu menunjukkan problem serius dalam sistem hukum di Tanah Air. Dua pengadilan seolah-olah “dibentur-benturkan” karena kepentingan satu orang semata.
Pemerhati hukum tata negara Refly Harun memandang persoalan ini merugikan pencari keadilan, karena dualisme hukum hanya menimbulkan ketidakpastian hukum. Peristiwa ini sekaligus menunjukkan betapa mudahnya lembaga peradilan “dikacaukan” demi kepentingan politik sejumlah orang.
Dari dua kasus di atas, terdapat dua pokok persoalan yang muncul. Pertama, kerancuan tentang mekanisme penyelesaikan sengketa pemilu di ranah hukum. UU Pemilu memberikan ruang bagi PTUN untuk memberikan putusan final dan mengikat setelah sengketa di Bawaslu ditempuh. Hal ini memicu perpindahan alur hukum, yakni dari yang semula di alur sengketa pemilu, kini berpindah ke gugatan administrasi.
“Itu dua hal yang berbeda. Seharusnya sengketa pemilu selesai atau final dan mengikat di Bawaslu saja. Tidak perlu ada sengketa terkait pemilu di PTUN, atau di luar Bawaslu. Jika ini bisa diwujudkan, inkonsistensi putusan bisa ditekan,” ujar Shidarta, pengajar filsafat hukum Universitas Bina Nusantara.
Persoalan kedua yang muncul ialah mekanisme ganda dalam uji materi. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, sedangkan MK menguji UU terhadap konstitusi. Dualisme kewenangan uji materi ini pun dibahas di dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4, pada 10-12 November 2017, di Jember, Jawa Timur. Para ahli HTN merekomendasikan agar ada satu saja lembaga yang menangani uji materi. MK didorong untuk menjadi lembaga tersebut. Dengan demikian, harmonisasi regulasi lebih mudah dilakukan.
Jika rekomendasi tersebut disambut oleh pembuat regulasi, yakni pemerintah dan DPR, dengan melakukan revisi terhadap UU terkait, dan menempatkan kewenangan uji materi di satu lembaga, kecil kemungkinan terjadinya inkonsistensi putusan, apalagi benturan antarlembaga peradilan. Namun, agaknya jalan terjal masih harus ditempuh untuk mewujudkan lembaga tunggal penguji peraturan perundang-undangan.