JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia menyatakan, tingkat depresiasi rupiah tidak seburuk mata uang negara lainnya. Kendati demikian, Bank Indonesia dan pemerintah akan terus mewaspadai ketidakpastian perekonomian global yang semakin sulit diprediksi.
Bank Indonesia (BI) menyebutkan, hingga 31 Agustus 2018, rupiah telah terdepresiasi 7,89 persen. Ini tidak terlampau buruk dibandingkan rupee dari India yang terdepresiasi 10,03 persen, rand dari Afrika Selatan 15,95 persen, real dari Brasil 20,23 persen, dan lira dari Turki 42,27 persen. Bahkan, peso dari Argentina terdepresiasi lebih dari 50 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Selasa (4/9/2018), menyebutkan, perbandingan tersebut untuk menjawab kondisi rupiah yang terus melemah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah telah mencapai Rp 14.840 per dollar AS pada 4 September 2018.
Salah satu penyebab terdepresiasinya rupiah karena bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali pada 2018 sehingga menjadi 1,75 persen-2 persen. Diperkirakan, The Fed akan kembali menaikkan suku bunga total empat kali dalam tahun ini.
”Penguatan dollar AS membuat modal asing kembali karena imbal hasil di sana lebih menarik,” kata Perry, dalam Rapat Kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Menteri Keuangan RI, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM, serta Gubernur Bank Indonesia.
Ia melanjutkan, depresiasi hingga 7,89 persen juga masih lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rupiah pernah melemah hingga 25 persen pada 2013 dan 20 persen pada 2015. Namun, Indonesia ternyata mampu melewati masa krisis tersebut.
BI dan pemerintah akan terus mewaspadai ketidakpastian perekonomian global yang semakin sulit diprediksi mengingat terdapat ketegangan perdagangan antara AS, Kanada, China, dan Meksiko.
Apalagi, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali pada 2019. Proyeksi rupiah pada 2018 diperkirakan berada di kisaran 14.000-14.300 dan mencapai 14.300-14.700 pada 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, pelemahan rupiah banyak dipengaruhi faktor sentimen dan psikologis sehingga tidak mudah diprediksi. Dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.400 per dollar AS.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, Abdul Hakam Naja, menyatakan, asumsi tersebut masih belum mencerminkan kondisi perekonomian yang sebenarnya. ”Perhitungan harus realistis, untuk menghadapi volatilitas asumsi Rp 14.600 per dollar AS,” ucapnya.
Kurangi defisit
Perry melanjutkan, berbagai cara telah dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, seperti melalui kenaikan suku bunga acuan BI, intervensi pasar valuta asing, dan relaksasi loan-to-value (LTV).
Namun, cara yang paling efektif saat ini adalah agar pemerintah mengurangi defisit neraca perdagangan barang dan jasa atau neraca transaksi berjalan. Transaksi berjalan defisit 8 miliar dollar AS pada triwulan II-2018, sedangkan neraca perdagangan Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS.
Hal itu, katanya, sekaligus menjawab pertanyaan mengapa mata uang Malaysia, Thailand, dan Singapura tidak terlalu terdepresiasi seperti Indonesia. Namun, BI telah berkoordinasi dengan pemerintah terkait langkah mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.
”Bisa dari program B20 atau bahan bakar mesin diesel dengan 20 persen biodiesel sehingga bisa menghemat 2,2 miliar dollar AS selama empat bulan ke depan,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah mewajibkan B20 digunakan oleh transportasi nonpublik, industri, pertambangan, dan kelistrikan per 1 September 2018 dengan tujuan mengurangi defisit impor bahan bakar minyak serta menghemat devisa negara.