Rumusan Baru Pasal Penghinaan Presiden Tak Hilangkan Kekhawatiran
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Perubahan rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum bisa menghilangkan kekhawatiran bahwa pasal itu akan digunakannya untuk menekan kritik terhadap presiden/wakil presiden. Pasal penghinaan presiden tetap diusulkan untuk dihapuskan.
Pada rapat tim pemerintah dengan tim perumus RKUHP DPR, akhir Mei lalu, pemerintah mengajukan rumusan baru pasal penghinaan presiden/wakil presiden (wapres). Begitu pula ancaman pidananya.
Pasal berubah menjadi berjudul, yaitu penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan wapres. Rumusan pasalnya menjadi, Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ancaman pidana penjara itu tidak setinggi pada rumusan sebelumnya, yaitu mencapai enam tahun.
Pada ayat selanjutnya, tidak termasuk penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Tindak pidana itu hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
Di bagian penjelasan disebutkan, yang dimaksud menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wapres di muka umum, termasuk menista dalam surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi.
“Sekalipun rumusannya diubah, dengan tetap adanya ketentuan itu, tetap memunculkan kekhawatiran pasal bisa menjadi pasal karet, dan suatu saat nanti bisa digunakan oleh presiden/wapres untuk mengkriminalisasi pengkritiknya,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, Minggu (17/6/2018).
Tafsir
Menurut Feri, kekhawatiran ini muncul karena tafsir atas penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat akan bergantung pada tafsir penguasa, jajarannya, dan aparat penegak hukum. Dengan demikian, pasal itu berpotensi disalahgunakan oleh mereka untuk mengklasifikasikan masyarakat yang mengkritik presiden/wapres menjadi tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.
Selain itu, pada 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus pasal penghinaan presiden/wapres. “Jadi ikuti saja putusan MK. Pemerintah tidak perlu lagi memunculkan pasal tersebut di RKUHP. Apalagi sekalipun rumusan pasalnya berbeda, substansinya tetap sama saja,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara pun mendorong agar pasal itu ditiadakan.
“Delik tersebut tidak diperlukan karena soal penghinaan sudah cukup diatur di bab khusus yang mengatur soal tindak pidana penghinaan. Termasuk presiden/wapres bisa menggunakan pasal di bab khusus itu, kalau misalnya difitnah,” jelasnya.
Pasal itu pun dinilainya tetap akan menjadi pasal karet karena alasan pembenar dari perkara penghinaan hanya mencakup demi kepentingan umum dan pembelaan diri karena terpaksa. Padahal pengadilan telah memperluas alasan pembenar, seperti kebenaran pernyataan, pernyataan dalam kondisi yang emosional, dan kekhususan karena profesi seperti pengacara dan jurnalis.
Menurut Anggara, pemerintah tetap menginginkan pasal itu karena pemerintah selalu membandingkan Indonesia dengan negara-negara yang dipimpin oleh dua orang dengan jabatan berbeda. Misalnya, raja/ratu atau presiden di sejumlah negara yang berperan sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
“Kedudukan raja/ratu atau presiden itu dianggap sebagai simbol negara karena tidak memerintah, sehingga perlu diproteksi sedemikian rupa. Ini berbeda dengan Indonesia di mana Presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sehingga tidak bisa diproteksi seperti itu,” jelasnya.