JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengubah rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan rumusan yang baru, pemerintah menjamin pasal tak akan menjadi pasal karet yang bisa memidanakan pengkritik kebijakan presiden-wakil presiden.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih memaparkan rumusan itu saat rapat dengan Tim Perumus RKUHP DPR di Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Pasal yang semula berjudul penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) diubah menjadi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres.
Rumusan pasalnya menjadi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kemudian ayat selanjutnya, tidak termasuk penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Selanjutnya, tindak pidana itu hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pengaduan dapat dilaksanakan pejabat atau seseorang yang ditunjuk presiden atau wapres.
Di bagian penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden-wapres pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wapres di muka umum, termasuk menista dalam surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Dengan rumusan pasal baru itu, pasal penghinaan Presiden yang semula delik biasa diubah menjadi delik aduan.
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Jadi, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela dilihat dari berbagai aspek, yaitu moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan.
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi.
Dengan rumusan pasal baru itu, pasal penghinaan yang semula delik biasa diubah menjadi delik aduan. Selain itu, ancaman hukuman juga dibuat lebih ringan tidak seperti yang ada di KUHP saat ini, yaitu paling lama 6 tahun. Ini mengakomodasi putusan MK. Hal lainnya, aturan dibuat lebih detail sehingga tidak menjadi pasal karet yang bisa digunakan untuk memidanakan pengkritik kebijakan presiden-wapres atau pemerintah.
Ketua Panja RUU KUHP DPR Mulfachri Harahap mengatakan, fraksi-fraksi akan mengkaji rumusan baru dari pemerintah.
Namun, menurut dia, rumusan pasal sudah lebih baik daripada rumusan pasal sebelumnya. Dia melihat pasal penghinaan presiden-wapres tetap harus ada untuk menjaga kehormatan presiden-wapres sebagai simbol negara. Namun, di sisi lain, pasal tidak menjadi pasal karet yang bisa digunakan penguasa untuk memberangus kritik terhadap penguasa.