JAKARTA, KOMPAS — Pesantren sebagai salah satu tempat persemaian kader ulama memiliki peranan yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang damai dan sejuk. Karena itu, pesantren berkewajiban menangkal radikalisme dengan menyebarluaskan ajaran Islam yang pro perdamaian, toleran, terbuka, dan mengedepankan maslahat umat.
Aksi kekerasan dan peledakan bom yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia awal Mei lalu membuat sejumlah pesantren yang tergabung dalam Aliansi Pesantren For Peace menyatakan sikap untuk menindak tegas setiap pelaku terorisme dan ekstremisme sesuai aturan yang berlaku.
Aliansi Pesantren For Peace merupakan sebuah jaringan 1.500 ustaz dan kiai muda dari 750 pondok pesantren se-Jawa.
Selain itu, Islam yang diajarkan dan dibawa oleh santri juga dikenal bercirikan inklusif, yakni suatu sikap keagamaan yang terbuka dan moderat.
Pesantren berkewajiban menangkal radikalisme dengan menyebarluaskan ajaran Islam yang pro perdamaian, toleran, terbuka, dan mengedepankan maslahat umat.
Koordinator Aliansi Pesantren For Peace Jazilus Sakhok, di Jakarta, Jumat (25/5/2018), menyampaikan, pesantren sebagai benteng pertahanan Islam dari ideologi ekstremis semakin diharapkan perannya dalam mengembangkan strategi kontranarasi dan narasi alternatif.
”Contoh kontranarasi tersebut adalah mempromosikan persatuan, perdamaian, toleransi, dan kesalehan yang sesungguhnya. Menyebarkan Islam damai tidak hanya di pesantren, tetapi juga di masyarakat luas,” ujar Shakok dalam diskusi ”Peran Pemerintah dalam Penanggulangan Ekstremisme/Terorisme”.
Berdasarkan data Departemen Agama, pada 2015-2016 Indonesia memiliki 28.194 pesantren dengan total 4.290.626 santri dan 354.941 ustaz. Dengan banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, diharapkan pemahaman Islam yang toleran dapat menangkal sifat radikalisme di masyarakat.
Menurut Sakhok, aksi terorisme dan radikalisme yang muncul di Indonesia merupakan bentuk pendangkalan pemahaman terhadap agama. Para teroris ini hanya fokus dan memahami Islam dari aspek hukum Islam (fikih).
Aksi terorisme dan radikalisme yang muncul di Indonesia merupakan bentuk pendangkalan pemahaman terhadap agama.
Padahal, Islam perlu dipahami dari aspek keyakinan atau iman yang di dalamnya termasuk akidah. Sikap ihsan juga perlu ditanamkan dalam setiap Muslim. Sikap tersebut berarti mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat dan menilai setiap perbuatannya di dunia.
”Terorisme ini mempelajari Islam secara komprehensif dengan menggunakan ketiga dimensi tersebut, yaitu fikih, akidah, dan ihsan. Masyarakat menganggap bahwa Islam seakan-akan hanya pada aspek fikih saja,” tutur Shakok.
Perlu pendidikan dan pelatihan
Guru Besar Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, dalam menangkal terorisme di instansi pendidikan, perlu adanya pendidikan dan pelatihan tentang kebangsaan untuk guru atau pengajar.
”Saat ini harus ada diklat tentang keindonesiaan. Di tingkat mahasiswa, saya kira sudah ada pendidikan kewarganegaraan, tetapi harus diintensifkan dan dikontekstualisasikan dengan isu-isu yang kita hadapi,” ujarnya.
Azyumardi menilai, diklat yang bermateri tentang kebangsaan diperlukan karena saat ini sudah banyak pihak yang mempertentangkan antara keimanan, keagamaan, dan keindonesiaan. Tiga kementerian, yakni Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; serta Kementerian Agama; juga seharusnya terus didorong untuk melakukan pencegahan sejak dini terkait paham radikalisme.
Direktur Pencegahan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigadir Jenderal (Pol) Hamli menilai, Undang-Undang Antiterorisme yang telah disahkan mampu memperkuat lembaganya dalam aspek pencegahan.
Jumat, DPR resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi undang-undang.
”Dengan ditetapkannya undang-undang ini, kami dapat bekerja lebih baik lagi dan kawan-kawan dari kepolisian lebih punya hal-hal yang diperlukan untuk pencegahan. Aspek pencegahan tersebut terlihat dari adanya pasal yang mengizinkan penegak hukum menindak status organisasi teroris,” tutur Hamli.