Rancangan KUHP Terus Dipertanyakan Kalangan Perempuan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perdebatan soal sejumlah pasal-pasal dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini prosesnya berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat terus berlangsung. Kalangan organisasi masyarakat sipil, terutama dari organisasi perempuan terus mempertanyakan sejumlah pasal yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan dan kelompok-kelompok marginal.
Pasal-pasal tersebut antara lain pasal tentang perluasan perbuatan zina yang diancam pidana serta pasal hidup bersama tanpa perkawinan yang sah, dalam Bab Kesusilaan di RKUHP. Kedua pasal tersebut dinilai berpotensi memidanakan kelompok masyarakat yang melaksanakan perkawinan tidak tercatat serta sejumlah masyarakat adat yang perkawinannya tidak tercatat dan atau memiliki tradisi tinggal serumah sebelum perkawinan.
Di sisi lain, ada juga beberapa kasus yang muncul dalam masyarakat dan merugikan perempuan dan anak, yang terlewat untuk diatur dalam R-KUHP, seperti adanya tindakan semena-mena ketika seorang laki-laki mengembalikan perempuan dinikahi selama beberapa hari karena tuduhan tidak perawan, seperti dalam kasus Bupati Aceng dan Kasus Farid Harja.
Pertanyaan-pertanyaan dan kekhawatiran para perempuan terkait aturan-aturan yang akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) “Mewujudkan Pembaharuan Hukum Pidana Melalui R-KUHP Yang Berkeadilan, Demokratis Dan Responsif Pada Perkembangan Tindak Pidana” yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta, Kamis (15/3) hingga Jumat, (16/3).
Acara ini diikuti Pengurus Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dari 15 Provinsi dan staff Sekretariat Nasional KPI serta sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil dan kalangan kampus.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartika Sari dalam materinya berjudul RKUHP dalam Pengalaman Perempuan mengungkapkan ada beberapa ketentuan pidana baru yang merugikan perempuan. Misalnya, Pasal 460 Ayat (1) butir e yang menyatakan perzinahan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan. Suami–isteri yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah menikah, berpotensi dikriminalisasi
Suami–isteri yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah menikah, berpotensi dikriminalisasi
“Perempuan korban perkosaan yang tidak dapat membuktikan terjadinya perkosaan, dan pihak laki-laki mengakuinya sebagai hubungan suka sama suka berpotensi dipidana,” kata Dian
Ada juga Pasal 463 RKUHP yang mengatur bahwa hidup bersama sebagai suami-isteri tanpa pernikahan yang sah, hukum adat sebagai tambahan pidana. Jika masyarakat hukum adat tidak melarang hidup bersama sebagai suami –isteri, dipidana dengan hukuman dalam KUHP. Namun, Jika ada larangan dalam masyarakat adat, maka akan dijatuhi hukuman pidana menurut KUHP dan hukuman adat. Ia mencontohkan di Aceh misalnya seseorang dianggap dalam pernikahan yang sah akan diberlakukan KUHP dan Qanun Jinayat, yakni pidana 1 tahun dan 100 kali cambuk di muka umum.
Tak hanya itu, lanjut Dian, pada RKUHP juga ada Pasal 679 yang mengatur semua pidana adat, dijatuhi hukuman adat. Contohnya, pemerkosaan adalah pidana adat. Hukuman bagi pelaku perkosaan adalah membayar denda dan mengawini perempuan yang diperkosa.
Di sisi lain, menurut Dian, ada juga beberapa kasus yang muncul dalam masyarakat dan merugikan perempuan dan anak, yang terlewat untuk diatur dalam R-KUHP, seperti adanya tindakan semena-mena ketika seorang laki-laki mengembalikan perempuan dinikahi selama beberapa hari karena tuduhan tidak perawan, seperti dalam kasus Bupati Aceng dan Kasus Farid Harja.
Merugikan perempuan
Pada seminar tersebut, Rustiati salah satu peserta dari Jambi mengungkapkan pengalaman di desa di Jambil yang lembaga adatnya diagung-agungkan. Kepala desa langsung menjadi ketua adat di desanya. Ketika ada kasus di desa, lembaga adat yang menyelesaikan dulu.
Misalnya, ada perempuan hamil di luar nikah, lembaga adat akan menyuruh menggugurkan dan kasusnya diselesaikan di balai desa. Walaupun semua perbuatan sudah diakui, tetapi tidak ada tindak lanjut bagi pelaku untuk diselesaikan secara hukum. Dianggap diselesaikan secara damai, karena sudah diterima oleh orang tua.
“Perempuan yang menjadi korban sangat menderita, perempuan yang ada di desa memvonis perempuan itu salah. Di desa selalu menyalahkan perempuan. Peradilan yang dibuat lembaga adat tidak berpihak pada perempuan. Bagi korban perempuan, yang ada adalah penderitaan seumur hidup,” ujar Rustiati, yang mempertanyakan jika hukum adat seperti itu terus diberlakukan.
Peradilan yang dibuat lembaga adat tidak berpihak pada perempuan.
Ada juga Ningsih Lema anggota dari Nusa Tenggara Timur yang mengungkapkan sampai saat ini banyak pasangan suami istri yang telah menikah tapi pernikahan tidak tercatat perkawinannya secara sah. Jika pasal 463 RKUHP disahkan akan kriminalisasi keluarga seperti itu.
“Kami membuat pernikahan massal, yang mendaftar jumlahnya melebihi, berarti ada banyak keluarga yang tidak tercatat secara administrasi. Bagi masyarakat NTT menikah secara adat sudah sah. Kami sungguh sangat resah membaca rancangan KUHP ini karena budaya sangat diskriminatif terhadap perempuan,” katanya.
Bahas substansi RKUHP dari berbagai perspektif
Selain memberikan informasi tentang perkembangan proses pembahasan RKUHP, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik (RKP) KPI Indry Oktaviani mengungkapkan Seminar “Mewujudkan Pembaharuan Hukum Pidana Melalui R-KUHP Yang Berkeadilan, Demokratis Dan Responsif Pada Perkembangan Tindak Pidana” juga mendiskusikan substansi R-KUHP dengan dari perspektif hukum, antropologi, gender, perlindungan anak dan kelompok rentan, menyusun pokok pikiran dan rekomendasi hukum dari kelompok masyarakat sipil, organisasi perempuan dan kelompok akademisi.
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam seminar tersebut antara lain Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan tim penyusun Rancangan Kitab-Kitab Hukum Pidana (KUHP) Prof Harkristuti Harkrisnowo yang membawa materi “Perkembangan Pembahasan R-KUHP dan Gagasan Pembaharuan Hukum Pidana”, Prof Markus Priyo Gunarto (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) “Penyimpangan Asas Legalitas dan Pemberatan Pemidanaan (over Criminalization) dalam R-KUHP serta dampaknya terhadap Hukum Pidana Nasional” dan Prof Sulistyowati Iriyanto (Guru Besar Antropologi Fakultas Hukum UI) dengan materi“Dampak Penerapan Hukum yang hidup di Masyarakat sebagai Hukum Pidana bagi perempuan dan kelompok Rentan”.
Pada sesi berbeda juga ada materi tentang “R-KUHP dalam perspektif perempuan, anak, dan penyandang disabilitas” yang disampaikan Maulani Rotinsulu (Presidium Nasional Koalisi
Perempuan Indonesia Kelompok Kepentingan Penyandang Disabilitas/Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) dengan materi ”R-KUHP, pengaturan pidana terhadap Penyandang Disabilitas” dan materi dari Prof Irwanto (PUSKAPA UI) tentang “R-KUHP dan perlindungan hak-hak anak”.