Peraturan Keterwakilan Perempuan Harus Diperjelas
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Komisi Pemilihan Umum harus memperjelas afirmasi perempuan dalam pencalonan legislatif secara rinci.
Peraturan itu harus memperjelas substansi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena UU itu hanya membahas keterwakilan 30 persen caleg perempuan secara umum.
Keterwakilan perempuan diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 245 dan 246. Disebutkan, parpol harus menyertakan 30 persen keterwakilan caleg perempuan dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.
Untuk menjalankan itu, KPU harus membuat PKPU yang mengatur tentang keterwakilan perempuan. Namun, PKPU baru akan dibahas dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu dekat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, KPU harus memperjelas masalah keterwakilan perempuan dalam PKPU tersebut.
Salah satu yang perlu diperjelas adalah keterwakilan perempuan 30 persen harus berdasarkan dapil, bukan secara nasional.
Menurut Titi, peraturan keterwakilan setiap dapil dapat menambah partisipasi perempuan dalam pileg. Hal itu terlihat pada peningkatan partisipasi caleg perempuan dalam Pileg 2014 yang meningkat menjadi 37 persen dibandingkan Pileg 2009 sejumlah 33,6 persen.
”Pada Pemilu 2009, porsi 30 persen itu dihitung ke nasional, sedangkan yang benar adalah seperti Pemilu 2014 saat keterwakilan perempuan 30 persen menjadi per dapil. Itu harus dilaksanakan lagi per dapil,” kata Titi, Senin(5/3), saat di wawancarai dalam diskusi Tantangan Perempuan pada Tahun Politik di Jakarta.
Untuk itu, Titi menyarankan KPU untuk membuat peraturan yang sama seperti KPU periode sebelumnya. Setidaknya, kejelasan dalam keterwakilan perempuan bisa sama seperti PKPU Nomor 7 Tahun 2013.
Meski demikian, Titi khawatir KPU tidak mampu memperjelas peraturan itu. Menurut dia, rekam jejak KPU kurang baik apabila berurusan dengan keterwakilan perempuan.
Sebelumnya, KPU gagal mempertahankan syarat parpol dalam keterwakilan 30 persen perempuan pada tingkat kabupaten atau kota.
Adapun, verifikasi parpol untuk Pemilu 2019 hanya dilakukan dengan 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pengurus pusat.
”Pada verifikasi Pemilu 2019, syarat keterwakilan 30 persen perempuan hanya di tingkat pusat. Ini suatu kemunduran karena pada verifikasi parpol Pemilu 2014, syarat keterwakilan perempuan diberlakukan sampai tingkat kabupaten atau kota,” kata Titi.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar, Hetifah Sjaifudian, mengatakan, PKPU harus mempertegas perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan yang tidak genap. Menurut dia, harus diatur pembulatan ke atas apabila hasil perhitungan tidak genap.
”Dalam UU tidak jelas. Misalnya ada delapan caleg yang lolos di dapil tertentu. Ini tidak jelas karena 30 persen dari 8 caleg itu menghasilkan dua koma sekian. Angka itu harusnya dibulatkan ke atas menjadi tiga orang minimal keterwakilan perempuan,” kata Hetifah.
Hetifah mengucapkan, pembulatan keterwakilan perempuan jangan sampai ke bawah. Misalnya, dua koma sekian menjadi dua orang saja.
Hal itu bisa menyebakan penurunan partisipasi perempuan. Adapun, pada Pemilu 2014, pembulatan dilakukan ke atas.
Pada Pemilu 2014, pembulatan ke atas efektif menambah keterwakilan perempuan di Bengkulu. Pada saat itu, jumlah caleg yang bisa lolos dari dapil itu adalah empat orang. Namun, PKPU memutuskan untuk melakukan pembulatan ke atas.
Keterwakilan perempuan yang berjumlah satu koma sekian itu dibulatkan menjadi dua orang. Akibat kebijakan tersebut, anggota DPR dari dapil tersebut justru diwakili empat perumpuan.
Menurut Hetifah, kebijakan itu perlu diaplikasikan karena signifikan dalam memastikan representasi perempuan di DPR. Banyak dapil yang tidak genap saat dibagi 30 persen. Apabila hal itu dibulatkan ke bawah, 29 kursi DPR untuk perempuan terancam hilang.
Adapun, hilangnya 29 kursi itu akan mengerucutkan representasi perempuan. Saat ini keterwakilan perempuan di DPR hanya sekitar 17 persen atau hanya 97 dari 560 kursi di DPR. Padahal, seharusnya keterwakilan itu berjumlah 168 kursi, sesuai dengan rencana 30 persen.
Hadir juga pada acara itu, anggota KPU, Ilham Saputra. Dia mengatakan, rancangan peraturan terkait keterwakilan perempuan kerap terhadang di DPR. Untuk itu, Ilham meminta bantuan anggota Komisi II DPR untuk mendukung partisipasi perempuan.
”KPU siap munculkan perspektif perempuan. Sampai saat ini kami menyesuaikan beberapa pasal yang ada pada UU No 7 Tahun 2017. Tetapi, kami minta juga bantuan dari DPR untuk memudahkan itu,” kata Ilham.
Selain itu, Ilham juga meminta parpol untuk memperkuat kaderisasi perempuan. Hal itu harus diperkuat karena peraturan keterwakilan perempuan perlu diimbangi dengan jumlah kader perempuan dalam parpol.
Berdasarkan pengalaman verifikasi parpol, banyak parpol yang hampir tidak lolos karena kekurangan wakil perempuan. Bahkan, di antara parpol tersebut terdapat parpol lama.
”Beberapa partai begitu kurang satu kader perempuan saja, langsung belum memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Ini harus jadi pertimbangan ke depan. Segitu minimkah kader perempuan di parpol,” sebut Ilham. (DD06)