Pengaturan Sosialisasi dan Kampanye Rawan Penyimpangan
JAKARTA, KOMPAS — Aturan kampanye pada Pemilu 2019 dinilai bisa disiasati peserta partai politik untuk mencuri kesempatan berkampanye dengan dalih sosialisasi.
Selain itu, kredibilitas pemilu rawan tercederai karena tidak ada aturan melaporkan akuntabilitas biaya parpol pada masa sosialisasi.
Masa kampanye pemilu berlangsung pada 23 September 2018-13 April 2019. Sebelum masa kampanye, sejak Senin (26/2) sampai 23 September 2018, parpol hanya boleh melakukan sosialisasi internal dan penyebaran alat peraga. Sementara itu, kampanye lewat iklan di media massa dilarang.
Jarak tujuh bulan setelah penetapan parpol peserta pemilu dapat dimanfaatkan untuk mencuri kesempatan berkampanye. Pada Pemilu 2014, kampanye dilangsungkan tiga hari setelah penetapan peserta.
”Pengaturan kampanye seperti ini sangat berpotensi terjadinya penyimpangan karena parpol sudah ditetapkan, tetapi kampanye belum dimulai. Peserta bisa mendahului dan mengakali aturan karena ada tujuh bulan sebelum masa kampanye,” ucap Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat dihubungi, Selasa (27/2).
Titi menyebutkan, sosialisasi bisa dijadikan dalih untuk memulai aktivitas kampanye. Apalagi, tidak ada batasan yang jelas terkait sosialisasi. Contohnya, dapat dimanfaatkan pemilik parpol yang memiliki media penyiaran untuk mencuri kesempatan berkampanye. ”Kan, jadi tidak adil bila ada yang menaati dan lainnya tidak,” katanya.
Sementara itu, undang-undang tidak mengatur masalah laporan akuntabilitas biaya sebelum kampanye. Hal itu bisa mencederai pemilu karena biaya-biaya selama sosialisasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Menurut Titi, perlu ada rumusan jelas dan tegas terkait perbedaan sosialisasi dan kampanye serta kewajiban pelaporan biaya sosialisasi. Masalahnya, ketidakjelasan aturan itu memunculkan ruang abu-abu yang justru dapat merusak pemilu yang adil.
Sekretari Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni mengucapkan, parpolnya dirugikan karena pengaturan kampanye. Menurut dia, waktu kampanye yang lebih singkat membuat parpol baru kurang maksimal dalam pengenalan visi dan misi.
”Apakah ada keadilan untuk partai baru yang belum punya waktu untuk kampanye. Seharusnya memberikan kesempatan untuk semua partai berkampanye setelah penetapan,” ucapnya.
Menurut Raja, Komisi Pemilihan Umum mengurusi hal yang tidak perlu. Dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, tidak dijelaskan secara rinci mengenai aturan sebelum masa kampanye 23 September 2018.
Sebetulnya, undang-undang tidak spesifik melarang kampanye sebelum penetapan daftar calon tetap DPR, DPRD, serta calon presiden dan calon wakil presiden pada 20 September 2018.
”Harusnya, biarkan saja tetap begitu, lebih baik penyelenggara pemilu mengurus aturan kampanye hitam,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Partai Garuda Abdullah Masyuri menilai, pengaturan itu tidak sejalan dengan nilai pemilu. Nilai yang dimaksud adalah parpol sebagai alat pendidikan politik tidak bisa memaksimalkan kinerjanya.
Padahal, lanjut Abdullah, ruang itu bisa dimanfaatkan peserta pemilu untuk mendorong pemilih agar tidak golput.
”Seharusnya pemerintah memberi ruang lebih untuk berkampanye. Apalagi masyarakat Indonesia cukup apatis pada politik,” katanya.
Demi kesetaraan
Komisoner KPU, Hasyim Asyari, mengatakan, peserta pemilu yang berkampanye di media massa pada sosialisasi bisa didiskualifikasi. Sampai saat ini, pengaturan kampanye masih berbentuk draf peraturan KPU yang nanti akan dibahas dalam rapat dengar pendapat DPR.
Meski belum menjadi undang-undang, Hasyim meyakini peraturan itu sudah tertera pada undang-undang sebelumnya.
”Dalam undang-undang, apa yang boleh dan tidak tentang kampanye media ditentukan oleh KPU. Seharusnya peserta pemilu harus taat. Mereka, kan, dari DPR juga. Mereka yang buat undang-undang, masak tidak ditaati,” tuturnya.
Sementara itu, Hasyim mengatakan, sumbangan kepada parpol harus dilaporkan walaupun dilakukan saat ini. Meski demikian, aturan yang ada baru mengatur dana untuk kegiatan kampanye, bukan pada masa sosialisasi.
Anggota KPU lainnya, Wahyu Setiawan, menyebutkan, pengaturan jadwal kampanye itu sesuai dengan yang dinyatakan dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Tujuan pengaturan itu untuk menciptakan kampanye yang adil dan setara.
Menurut Wahyu, KPU bukan ingin membatasi sosialisasi parpol, melainkan ingin mengatur ketertiban dan kesetaraan kampanye. Apalagi, jeda antara penetapan peserta parpol dan kampanye itu mencapai tujuh bulan. ”Kalau tidak diatur secara adil, bisa kacau,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Wahyu tidak melihat ada pihak yang dirugikan, baik parpol baru maupun lama, terkait pengaturan kampanye. Justru, dengan pengaturan, kampanye di media massa bisa lebih seimbang.
”Kami tidak ingin ada liberisasi kampanye, yang kaya dan punya akses media bisa semaunya kampanye. Untuk itu, kami yang akan menfasilitasi,” ucap Wahyu.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Rahmat Bagja, mengatakan, pengaturan kampanye adalah perlakuan adil. ”Parpol lama atau baru memang harus mendapat porsi sama. Kalau merasa belum tersosialisasi, jangan menyalahkan yang sudah muncul lebih dulu,” ucapnya. (DD06)